Mohammad Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM.
KEADILAN – Penyelesaian hukum pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama ini seperti duri dalam daging. Sejumlah perkara pelanggaran HAM berat yang diselidiki Komisi Nasional (Komnas) HAM selalu mentok saat dilimpahkan kepada Kejaksaan sebagai penyidik. Akhirnya kejaksaan menjadi sasaran kritik. Bahkan tak tuntasnya pelanggaran HAM seperti beban kejaksaan.
Beban itu tampaknya ingin ditanggalkan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Ia menerbitkan Keputusan Jaksa Agung Nomor 263 Tahun 2020 tanggal 29 Desember 2020. Melalui keputusan ini dibentuk Tim Khusus HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Apakah ini terobosan signifikan? Berikut wawancara Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam, di Jakarta Desember 2021 lalu:
Jumat 10 Desember 2021 Presiden Joko Widodo mengumumkan komitmen menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Bagaimana tanggapan Anda?
Sebenarnya permintaan kita terkait pelanggaran HAM berat, sejak awal dinamikanya banyak. Ujungnya adalah pada tahun ini untuk kasus Paniai Papua, maju ke level penyidikan. Itu penting karena menurut kami salah satu poin yang istilahnya itu “pecah telur” dalam konteks pelanggaran HAM dibawa ke pengadilan.
Ini penting karena menelisik pada kasus-kasus sebelumnya itu prosesnya kurang maksimal sehingga terduga pelaku dan sebagainya itu bebas, kita tak mau seperti itu. Menyambut pidato presiden, kami mau meletakkan bahwa itu couldnya presiden untuk memastikan prosesnya harus transparan dan kredible.
Lalu bagaimana kasus pelanggaran HAM lainnya?
3 kasus (kasus HAM berat) kalau kita pecahkan kasusnya. Jadi tidak hanya kasus Paniai, tapi juga kasus HAM yang lain.
Jaksa Agung juga berjanji akan menyelesaikan tunggakan perkara HAM berat. Apa tanggapan Anda tentang janji ini?
Tidak penting janjinya Pak Jaksa Agung, karena berjanjinya terus menerus. Yang paling penting adalah konkritnya. Janji kita tunggu sudah empat tahun lalu, tidak pernah ada (konkritnya). Jadi menurut saya, alangkah bijaknya tidak usah berjanji tapi langsung konkrit saja.
Bagaimana hubungan kejaksaan dengan Komnas HAM terkait penyelesaian perkara HAM berat?
Problem mendasar hubungan ini adalah keberanian kita semua termasuk juga Komnas HAM, untuk menyelesaikan HAM berat demi kepentingan bangsa dan negara. Dengan keberanian kita bersama inilah sebenarnya kita sedang menyelamatkan masa depan kita. Ini bukan teknis hukum, pelanggaran HAM berat masa lalu itu lebih gampang dibanding pidana biasa.
Misalnya, Anda rumahnya di desa kehilangan satu ekor ayam dan tidak ada CCTV memang bisa dicari? Polisi juga susah untuk mencarinya tapi pelanggaran HAM berat gampang misalnya ada kasus di Aceh, kita cek untuk memobilisasi di suatu tempat, penggunaan fasilitas negara, termasuk support keuangan itu kan bisa jadi publik kalau itu kebijakan.
Pelanggaran HAM berat itu bisa terjadi karena adanya suatu kebijakan, karena kasusnya ini terbuka. Untuk itu dengan membuktikannya adalah siapa yang paling bertanggung jawab terhadap kasus tersebut, ini bukan pelaku lapangan ya. Mudah tidak kalau kita bandingkan dengan orang yang kehilangan ayam di malam hari? Ya lebih mudah kasus pelanggaran HAM berat.
Pelanggaran HAM berat hingga kini masih menggantung. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya tak mau mengatakan menggantung, tapi tak mau diselesaikan. Kalau menggantung itu diberi harapan-harapan, ini tak mau diselesaikan. Seperti kasus hukum yang tadi saya jelaskan tentang perbandingan pidana biasa dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat.
Menurut Anda apa kendala penyelesaian perkara HAM berat ini?
Sekali lagi kendala utamanya bukan teknis hukum. Kendala paling utama dalam konteks HAM disebut unwilling (tidak berkehendak) atau unable (tidak memiliki kemampuan). Kalau bahasa kerennya political willnya tidak ada. Dua hal inilah yang bisa kita jadikan alat ukur.
Berapa banyak aduan dari masyarakat kepada Komnas HAM terkait perilaku jaksa?
Kalau jaksa jarang-jarang, angkanya kecil. Yang biasanya diadukan masyarakat kepada Komnas HAM kategorinya pelanggaran HAM biasa dengan menggunakan UU No 39/1999 soal Hak Asasi Manusia.
Jaksa Agung hanya mengeluarkan satu sprindik umum kasus HAM di Papua. Sementara tunggakan kasus HAM banyak. Bagaimana tanggapan Anda?
Sprindik Jaksa Agung itu pelanggaran HAM berat. Kalau bicara banyak agak subyektif karena jumlahnya hanya 12. Namun sikap Pak Jaksa Agung mengeluarkan sprindik merupakan satu langkah maju.
Kejaksaan Agung kini memiliki Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer. Apakah ini bisa memudahkan penanganan perkara HAM yang melibatkan militer?
Dalam konteks penegakan hukum dan HAM bagi teman-teman militer jawabannya adalah pengadilan militer kita reformasi. Misalnya, semua anggota militer melakukan pelanggaran HAM itu semestinya masuknya ke Jaksa Agung Muda Pidana Militer. Sebab, pengadilan militer itu jika terkait operasi militer, pelanggaran disiplin. Tetapi kalau militer bersengketa tanah dengan tetangganya terus menembak, itu tidak ada hubungannya dengan pengadilan militer. Dan itu harusnya pengadilan umum.
Jaksa Agung mengajukan tuntutan pidana mati perkara korupsi. Bagaimana tanggapan Anda mengenai wacana tersebut?
Memang akan merubah sesuatu bila dihukum mati? Kalau argumentasinya efek jera bahwa hukuman mati akan menjerakan para koruptor salah satu contohnya adalah China, China masih menerapkan hukuman mati, apakah masih ada koruptornya? Ada. Sampai detik ini masih ada pejabat China yang korupsi.
Coba kalau kita lihat negara-negara seperti Swedia dan New Zealand. Ada tidak mereka menerapkan hukuman mati? Tidak ada. Tapi angka korupsinya kecil sebab tata kelola negara mereka dipastikan transparan dan akuntable. Yang efektif melawan korupsi itu adalah memastikan pencegahan secara maksimal. Misalnya, tak boleh ada transaksi cash dalam tata kelola keuangan negara. Lalu akuntabilitas, caranya bila merencanakan pembangunan di suatu tempat, tempel itu jumlah duit pembangunan hingga masyarakat bisa mengakses dan mengontrol. Akuntabilitas ini mencegah korupsi.