Propaganda Teroris Via Medsos Belum Sepenuhnya Dicegah

KEADILAN – Aksi terorisme di Indonesia tak pernah mati. Kapolri Jenderal Idham Azis , aksi terorisme masih jadi perhatian pada 2020 kendati pada 2019 jumlah aksi terorisme menurun 10 kasus dibanding tahun 2018. Dan, propaganda yang dilakukan jejaring terorisme melalui media sosial (medsos) belum sepenuhnya bisa dicegah.

Data sepanjang tahun 2019, hanya terjadi 9 kasus teror atau turun 52,6 % dari tahun sebelumnya. Jumlah personel Polri yang menjadi korban selama 2019 ada 11 yang terluka dan 1 gugur. Jika dibandingkan 2018 ada 15 terluka dan 7 orang gugur.

Pelaku teror yang diungkap di 2019 ada 297 orang. Jumlah ini menurun 98 orang atau 24,8 % dari tahun sebelumnya. Meski kasus dan pelaku teror yang ditangkap menurun di 2019, namun ada kasus teror yang menonjol yakni penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto di Serang. Pelakunya adalah Abu Rara yang terpapar jaringan ISIS.

Sementara data tahun 2018, setidaknya 396 pelaku ditangkap terkait terorisme, 114 orang dilanjutkan ke persidangan, 204 orang masuk penyidikan, 25 meninggal dunia, 13 bunuh diri, 12 vonis dan satu orang meninggal karena sakit pada tahun itu.

Bagaimana tahun 2020? Meski maraknya pandemi virus corona, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri tak pernah berhenti melibas para teroris. Pada Senin (13/4/2020) lalu, Tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri menangkap empat orang terduga teroris di Muna, Sulawesi Tenggara.

Kemudian menangkap seorang terduga teroris berinisial MR (45), warga asal Kampung Padasuka, Kelurahan Sukamaju Kaler, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya, Senin (11/5/2020).

Seminggu kemudian kembali menangkap seorang pria berinisial MT (38), di salah satu kawasan rumah elit Perum Bumi Sentra Mas Blok F3 Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya, Selasa (19/5/2020).

Kasus terbaru, Densus 88 Antiteror Polri menangkap seorang terduga teroris yang berinisial AR di Kalimantan Barat. AR ditangkap di sebuah depot galon di Kabupaten Mempawah, Kalbar, pada Jumat (5/6/2020).

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono mengatakan, terduga teroris itu disinyalir sebagai simpatisan atau relawan ISIS. AR sempat mengunggah posting-an terkait ISIS di akun Facebook miliknya.

“Selama ini disinyalir telah berafiliasi dalam jaringan ISIS dan mengenal organisasi tersebut dari media sosial, yaitu Facebook. Awalnya aktivitas yang bersangkutan memang belum tampak, namun akhirnya AR berani tampil sebagai relawan ISIS yang diunggahnya melalui akun Facebook miliknya,” ungkap Awi.

Dari penangkapan itu, polisi menyita sejumlah barang bukti, di antaranya mobil dan peralatan listrik. Polisi juga mendapati amunisi hingga topi berlogo ISIS dari AR.

 

“Barang bukti yang disita oleh petugas berupa satu unit HP, satu unit mobil, dua buah pisau sangkur, amunisi senjata laras panjang, satu bungkus black powder, satu bungkus belerang, satu boks peralatan listrik, termasuk solder, baterai, dan kabel, topi lambang ISIS, jaket loreng, buku atau lembaran berisi jihad dan beberapa dokumen seperti KTP paspor buku tabungan kemudian,” pungkasnya.

Analis di Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia (UI), Stanislaus Riyanta sependapat dengan data Kepolisian bahwa trend terorisme menunjukkan penurunan untuk tahun 2018 dan 2019.

Menurut Stanislaus, Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 2018 tentang Antiterorisme yang mengakomodir pencegahan lebih memberi ruang gerak bagi aparat. Namun terorisme marak tidak terlepas dari pengaruh global terdesaknya ISIS di Timur Tengah (TimTeng).

“Namun ini bisa saja hanya sementara karena terdesaknya ISIS di Timteng akan menimbulkan arus balik dan bisa memicu serangan yang lebih besar nantinya,” ujar Stanislaus kepada KEADILAN.

Sementara terkait propaganda ISIS melalui media sosial seperti yang dilakukan oleh terduga teroris di Kalimantan Barat belum sepenuhnya dicegah. “Propaganda ISIS lewat sosial media ini yang masih belum dapat dicegah semuanya, sehingga dengan cepat menjangkiti generasi muda,” tegasnya.

Stanislaus pun mendukung penuh jika penumpasan teroris perlu kerjasama antara TNI dan Polri. Mengingat kata Stanislaus, kelompok teroris seperti di Poso yaitu Mujahidin Indonesia Timur yang berafiliasi dengan ISIS sudah menggunakan prinsip perang hutan yang tentu saja untuk melawannya perlu kemampuan khusus seperti yang dimiliki TNI.

“Bukan dalam konteks dikotomi TNI atau Polri untuk menangani terorisme tetapi lebih pada membangun kolaborasi supaya penanggulangan terorisme lebih kuat lagi,” tukasnya.

Menolak Pancasila

Dosen  hukum pidana  dari Universitas 17 Agustus 1745, Dr. Junior B Gregorius menilai teroris ISIS terus berkeliaran membuktikan adanya kelompok-kelompok yang mempunyai keinginan yang lain selain yang diatur pemerintah.

“Keinginan kelompok-kelompok tersebut umumnya terkait ideologi yaitu dasar negara dan atau terkait ideologi yang sesuai dengan yang mereka pahami dan inginkan. Entah apa namanya yang pasti mereka menolak PANCASILA dan UUD 1945,” kata Junior.

Namun, Junior membantah maraknya teroris karena lemahnya UU antiterorisme. Junior lebih melihat munculnya aksi terorisme karena kesenjangan ekonomi dan isu keagamaan.

Menurut Junior, tindakan hukum bahkan dengan cara represif sekalipun tidak cukup menyadarkan dan membuat para pelaku jera atas perbuatannya. Demikian halnya dengan bimbingan rohani dan sejenisnya, belum terbukti mematikan sel-sel teroris.

“Karena itu, pengawasan dan kerja keras pihak keamanan dan masyarakat secara simultan dalam rangka pencegahan dan penindakan terorisme harus terus ditingkatkan lagi,” tegasnya.

Odorikus Holang

1 komentar

Komentar ditutup.