2,2 JUTA NELAYAN MISKIN HARUS DISELAMATKAN

Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan.

KEADILAN – Indonesia kaya dengan biota air laut dan air tawar pesifik. Namun, hingga kini sekitar 2,2 juta nelayan atau yang bermata pencaharian dari sektor perikanan masih miskin. Tidak hanya itu, devisa yang dihasilkan dari sektor ini juga tergolong sangat kecil jika dibandingkan dengan produktifitas sektor perikanan.

Lantas apa yang salah? Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan banyak hal terkait hal itu dalam wawancara khusus dengan Pemimpin Redaksi Majalah KEADILAN Panda Nababan dan Tim Majalah KEADILAN di kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu 16 Februari 2022. Petikannya.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat ini jadi primadona juga di antara kementerian yang ada. Ketika Anda dipilih Presiden Joko Widodo untuk memimpin KKP, apa yang dipesankan Presiden?

Ya kalau saya sih sejujurnya bukan orang laut bukan orang perikanan.  Tapi, saya selalu diterjunkan di satu wilayah yang saya enggak tau, seperti misalnya waktu itu jadi Wakil Menteri Pertahanan. Tapi karena saya anak tentara, sedikit paham lah. Pertahanan sendiri sebetulnya kan banyak hal, sempat saya belajar cukup tiga bulan saja. Saya bisa memahami tentang betapa pentingnya pertahanan itu. Saya setahun sebagai Wakil Menteri Pertahanan.

Kemudian, saya ditugaskan Presiden sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, dan 23 Desember 2020 dilantik. Jadi, yang pertama terus terang saya hanya berpikir bagaimana kita sebagai satu negara maritim, negara kepulauan, yang hidup, kemudian survive di lautan yang luas, lalu bagaimana agar kita tetap berkelanjutan.

Bagaimana kesinambungan negara ini dari sisi ekologi. Itu saja yang saya berpikirnya. Waktu wawancara, disuruh bicara sama Presiden kepada publik, apa yang akan dilakukan. Satu hal saja saya katakan, bahwa alam ini sangat dipengaruhi oleh kesehatan laut. Jadi kalau lautnya sehat, maka kehidupan manusia selanjutnya akan tetap menjadi sehat.

Termasuk kehidupan di darat?

Kehidupan di daratan itu akan menjadi lebih sehat, karena semua itu dari laut. Sehingga saya berpikir bagaimana keberlanjutan itu harus tetap dijaga. Itu pikiran pertama kali saya, lalu kemudian bagaimana caranya dan seperti apa?

Presiden Joko Widodo berbincang bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.
Presiden Joko Widodo berbincang bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.

Lantas apa yang Anda lakukan?

Saya butuh waktu delapan bulan untuk kemudian meneliti, menyisir, semua apa yang ada di KKP. Saya punya pasukan atau ASN (Aparatur Sipil Negara) itu kurang lebih 13.000 orang dan ribuan bergelar doktor yang sangat ahli-ahli dibidangnya, khususnya soal ekologi kelautan dan sebagainya, termasuk perikanan. Saya pelajari satu-satu, lalu kemudian, saya melihat bahwa ini sebetulnya kementerian sederhana.

Kita selalu berorientasi daratan. Saya juga orang pedalaman (bukan pesisir, red). Jadi selalu kita berpikirnya adalah bagaimana sektor darat, pertanian, kehutanan, dan seterusnya. Nalurinya ke sana. Tapi, itu sebenarnya tidak ada apa-apanya, yang kita minum, yang kita hirup udaranya, dan sebagainya, itu betul-betul lebih banyak diproduksi di lautan. Karbon yang disedot, diserap oleh laut itu lima kali lebih besar dibandingkan dengan hutan. Dan ini baru saya dapat pembelajarannya. Memang background saya industri, bukan sebagai orang ekologi, maka saya belajar di situ.

Satu hal yang kemudian saya perhatikan pertama sekali sebagai mantan pengusaha tentu dari sisi ekonomi. Kalau secara ekonomi, ini (KKP) sebetulnya kontribusinya (devisa untuk negara, red) berapa besar.

Maksudnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)?

PNBP itu kan salah satunya. Tapi paling tidak kontribusi paling besar, kontribusi ekonominya terhadap negara dengan keberadaan kementerian yang mengurusi soal laut. Laut inikan soal ekologi, kira-kira itu (kontribusi) seberapa besar. Jadi, mulai dari potensi sumber daya alam lautnya itu. Kan orang melihatnya cuma ikan saja, padahal kan bukan hanya ikan di dalamnya, banyak sekali biota-biota lain, termasuk sebetulnya penambangan minyak, migas, dan sebagainya yang ada di dalam laut, yang sekarang ini tidak pernah diperhatikan dengan baik.

Bagaimana dengan potensi perikanannya?

Tapi, oke, dari sisi perikanan saja, pasar perikanan dunia itu sebesar 160 miliar dollar Amerika. Itukan angka yang sangat luar biasa besar. Lalu berapa sebetulnya produktifitas sektor perikanan kita?

Khusus di laut saja, itu menurut kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN), itu (Komnas KAJISKAN) adalah satu lembaga independen yang bisa menghitung kira-kira mobilitas atau produktifitas perikanan di indonesia dengan luas wilayah Indonesia ini berapa besar. Hasil hitungan mereka ada 12,5 juta ton/tahun. Jadi, bayangkan 12,5 juta ton, kalau rata-rata Rp20 ribu/kg saja, dan tidak ada ikan yang Rp20 ribu/kg, kalau pun ada ya paling ikan yang kecil-kecil. Dengan harga segitu saja, kan nilanya Rp224 triliun/tahun. Ini kan tidak bisa dianggap sebagai suatu (kementerian) yang sangat sederhana?

Lalu kemudian kalau kita lihat, berapa besar sebetulnya devisa yang tergenerate? angka tertinggi itu ada di 2,5 miliar dollar Amerika. Kecil itu jika dibandingkan dengan produktifitas perikanan Indonesia. (Berarti) ini kan ada sesuatu yang kita enggak bisa biarkan saja. Artinya harus dicari apa yang terjadi.

Tidak sinkron ya antara produktifitas dan devisa yang dihasilkan?

Nah, dari situ kemudian saya mencoba untuk melihat. Misalnya, kok banyak sekali hal-hal yang tidak diperhatikan dengan baik, karena dianggap “Wah Menteri Kelautan dan Perikanan apaan sih, udahlah” karena orang berpikirnya selalu begitu. Itu terefleksi dari anggarannya yang sangat kecil, yaitu Rp6,1 triliun. Dari 6.1 triliun itu, 50%-nya buat gaji. Kebayangkan, kalau Rp6.1 triliun, 50%-nya buat gaji, sementara 50%-nya lagi itu untuk pembangunan ya tidak mungkin. Yang dilayani, nelayan kecil itu ada sekitar 2.2 juta nelayan. Yang dari dulu sampai hari ini masih tetap miskin.

Satu hal lagi yang sudah saya teliti secara langsung, kasat mata, saya sudah bisa mendeteksi mengapa mereka (nelayan) seperti itu. Ini soal careless (keteledoran) lah ya.

Jadi soal produktivitas dan devisa itu dulu sebagai kontribusi pada negara. Negara itukan paling penting pertumbuhan ekonominya harus meningkat. Jadi kalau kita lihat PDB (produk domestik bruto), pertumbuhan ekonomi yang kontribusinya dari sektor kelautan dan perikanan itu cuma Rp400 triliun-Rp450 triliun. Nah, dari Rp400 triliun-Rp450 triliun itu, saya belum bisa mendeteksi berapa sebetulnya kontribusi pendapatan negara. Karena pendapatan negara kan bisa di-drive dari misalnya, pajak ekspor, pajak pertambahan nilai, dan lain sebagainya. Itu saya belum bisa (hitung). Tapi saya kira itu sangat kecil. Lalu kemudian yang kedua PNBP, yang diterima dari produktifitas Rp224 triliun cuma Rp600 miliar. Inikan (PNBP Rp600 miliar, red) hanya nol koma sekian persen saja dari Rp224 triliun. Bagi saya ini careless lah.

Menteri Trenggono meninjau dua armada Kapal Pengawas di Dermaga Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Batam, Kepulauan Riau.
Menteri Trenggono meninjau dua armada Kapal Pengawas di Dermaga Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Batam, Kepulauan Riau.

Apakah Anda sudah punya formula untuk menaikkan PNBP itu?

Nanti dulu, soal formula inikan gampang. Jadi kita lihat dulu produktifitas seperti itu dengan pasar yang lebih besar apa benar kita itu ekspornya hanya Rp5,2 miliar dollar Amerika? Itu yang harus jadi pertanyaan.

Nah, saya mencoba untuk keliling ke central indusrty perikanan, banyak sekali kejadian. Misal satu model saja, ekspornya itu secara fisik langsung ke Amerika, namun dia desain ke Singapura dulu, dari Singapura baru ke Amerika.

Jadi Singapura yang dapet nama?

Bukan, ini soal transfer pricing. Nah kalian musti lihatnya lebih detail. Jadi kalau dari Singapura ke Amerika harganya bisa 60 dollar Amerika, katakan begitu, atau 66 dollar Amerika untuk ikan tuna, terus kemudian dari Indonesia ke Singapura paling cuma 5 dollar Amerika – 10 dollar Amerika. Apa yang Anda lihat coba, saya mau tanya?

Kerugian?

Dimana kerugiannya? Nah, yang paling penting itu pajaknya. Berarti ada pajak yang dimainkan disitu. Dari yang 66 dollar Amerika, cuma 5 dollar Amerika – 10 dollar Amerika, dan segala sesuatunya. Dan ini banyak kejadian seperti ini. Saya temuin yang seperti itu. Jadi saya kira, ini mesti di koreksi. Yang kedua, kemudian careless lagi soal jumlah produktifitas yang diambil ini tidak ter-record dengan baik.

Kajiannya kira-kira 12.5 juta ton. Yang dibolehkan kira-kira kalau 80% atau sekitar 9 juta ton. Tapi sebenarnya, yang diambil berapa? Kita enggak bisa baca. Nah ini yang kemudian saya lakukan, yaitu benchmarking ke seluruh dunia. Di seluruh dunia itu penangkapan ikan diatur dengan baik. Tidak boleh sembarangan orang ambil.

Karena ikan bukan sekadar bahan protein untuk kepentingan umat manusia, tapi juga untuk ekosistem di dalam laut. Ekosistem laut yang punya banyak manfaat untuk kehidupan. Selain juga untuk bahan baku farmasi. Seperti Blackmores (minyak ikan, red) itu kontribusi dari sektor perikanan itu sangat besar. Nah, kita belum di level itu, kita masih berpikirnya makan terus. Nah itu salah satu juga.

Kemudian kita kembangkan. Lalu kemudian ukuran kesejahteraan nelayan itu dihitung dari nilai tukar, menurut saya tidak bisa begitu. Karena nilai tukarnya itu selama ini selalu rendah. Paling tinggi di 104%. Nilai tukar 104% itu sampai negara ini kiamat, gak akan pernah sejahtera mereka (nelayan). Dia harus di atas 200% bukan di 104%. Kalau di 200% berarti dia bisa punya tabungan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono meninjau fasilitas berupa laboratorium, Hatchery Kerapu, Kakap, Lobster, Abalon, Teripang di Balai Riset Perikanan Budi Daya Gondol Penyabangan, Gerokgak, Buleleng, Bali.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono meninjau fasilitas berupa laboratorium, Hatchery Kerapu, Kakap, Lobster, Abalon, Teripang di Balai Riset Perikanan Budi Daya Gondol Penyabangan, Gerokgak, Buleleng, Bali.

Bisa dijelaskan?

Di Sumatera Utara itu, di pesisir orang sering cari kerang. Kalau pesta, itu bisa pesta kerang, selalu habis tuh kerang. Dan kerang itu bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi, sampai ke ITB, ke UI, nah akhirnya (kerang) hilang. Karena tidak ada kesinambungan dan lain seterusnya. Inilah yang kemudian kita benahi, kita buat satu kebijakan baru atas dasar preferensi dari internasional.

Jadi di dunia internasional itu tidak boleh sembarangan nangkep. Lalu kemudian diatur, cara mengambilnya hanya boleh pada bulan tertentu, dan setiap bulan apa ke bulan apa harus berhenti, dan seterusnya. Selain juga pengembangan budidaya harus ditingkatkan. Ini kita buat kebijakan baru di tahun 2020.

Kedua, adalah penangkapan terukur berbasis kuota. Kita zonasi. Ini manfaatnya adalah, kita menggeser dari ekonomi Javasentris menjadi Indonesiasentris. Jadi kalau misalkan nangkep di Selat Malaka, (hasil tangkapannya) tidak boleh dibawa ke Jawa. Dia harus berhenti disitu, di proses disitu, dan dijual disitu. Kebijakan barunya begitu.

Apa tujuannya?

Supaya ekonominya berputar disitu. Bukan dibawa ke Jawa. Di Arafura, dia harus nangkep di Arafura, diturunkan di Arafura, kuota dibatasi, diproses di Arafura. Karena apa yang didapat disitu, packagingnya, prosesnya, tenaga kerjanya, muter disitu. Kalau selama ini kan di Jawa saja semu anya. Yang lainnya enggak dapat apa-apa. Ini yang kita sebut Indonesiasentris. Sehingga pertumbuhan ekonomi dari sektor perikanan tumbuh di wilayah masing-masing.

Jadi, kalau misalnya investor itu main di wilayah 3, misalnya di Arafura, Maluku, ya dia harus di sana. Bangun pabrik di sana, tenaga kerja harus dari sana.

Melihat berbagai persoalan yang Anda telusuri dan temukan di KKP, solusi-solusi apa yang sudah dan akan dilakukan?

Itu salah satu, model penangkapan berbasis kuota, dan dia harus terukur tidak boleh bebas. Jadi kalau kuota yang kita rilis di tahun 2022 ini 6 juta ton, maka 6 juta ton itu yang kita berikan kepada industri. Syaratnya dia boleh membawa kapal, tapi tidak boleh membawa kru dari luar. Dia harus membawa tenaga kerja dari situ (zona penangkapan yang telah dibagi). Dan ekspornya juga dari situ.

Bagaimana sektor budidaya?

Kalau dari budidaya kita masuk ke beberapa komoditi seperti rumput laut, kepiting, lobster, itu kan sarat teknologi, kan itu sifatnya singgah, dan ada juga ikan kerapu. Kerapu ini termasuk salah satu produk unggulan kita. Kalau di Norwegia itu salmon yang terkenal, kalau di kita kerapu salah satunya. Itu yang akan kita kembangkan. Ikan kerapu itu harganya Rp400 ribu per kilo. Kalau kita bisa produksi 1 juta ton misalnya, sudah Rp40 triliun itu satu tahun. Itu satu komoditi pertahun. Itu salah satu yang akan kita kembangkan.

Apakah budidaya ikan kerapu ini sudah berjalan?

Ya, sedang berjalan dengan sporadis lah saat ini. Jadi produktifitas kita sudah mulai bagus, tapi kita akan tingkatkan terus.

Kalau kita mapping secara keseluruhan, di wilayah mana perikanan kita kuat?

Hampir seluruh wilayah kita kuat. Jalur Pantai Selatan kita kuat dengan jenis blue fin Tuna, Lalu kemudian ikan laut dalam, trus kemudian lobster. Lobster sangat bagus di jalur selatan.

Di perairan mana yang ikan tuna itu seperti di aquarium?

Nah, itu di Rote. Dari Aceh sampai ke Kupang itu zona Selatan. Itu kita sebut sebagai zona 4.

Ikannya seperti dalam kolam, ikannya luar bisaa itu. Nah itu belum dikelola dengan baik.

Tadi Anda memaparkan soal pajak yang selama ini banyak dipermainkan. Lalu sudah sejauh apa  yang dilakukan untuk menghentikannya?

Dengan model seperti ini, maka dengan model terukur berbasis kuota itu, maka semua akan terkontrol. Karena, ekspornya harus dari situ, dan itu diawasi dengan satelit. Kita siapkan satu teknologi satelit yang bisa meng-capture atau memonitor mulai dari Sabang sampai Merauke. Jadi tidak ada satu kapal pun yang lolos dari situ. Jangankan kapal ikan, kapal barang saja termonitor. Dia buang sampah ke laut, ada krunya yang membuang. Itu  termonitor. Dan itu kita bisa denda mereka.

Menteri Trenggono menilai wilayah Kepulauan Natuna sangat potensial untuk dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kelautan.
Menteri Trenggono menilai wilayah Kepulauan Natuna sangat potensial untuk dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kelautan.

Untuk melakukan pemantauan dan pengawasan itu apa bekerjasama dengan instansi lain?

Soal kerja sama itu lebih ke pengawasan ya. Tapi itu pengawasan fisik. Kan kita pengawasan utamanya itu dari citra satelit, lalu yang kedua siskamling per zona. Itu kita punya kru sendiri. Tapi di sisi lain kita bisa kerja sama dengan TNI Angkatan Laut, Bakamla, dan Polair.

Tapi seringkali  kapal-kapal patroli KKP kalah cepat dengan nelayan-nelayan asing yang mencuri ikan perairan kita?

Ya, kita akan perbaiki terus ya. Jadi, artinya kita kembali lagi soal anggaran. Tapi ya kalau sekarang dengan penerapan kebijakan itu, ya kita akan perkuat. Nanti kalau ada TNI Angkatan laut, ya kita libatkan kan juga bisa. Itu enggak ada masalah sih. Karena selama ini kan enggak ada kebijakan itu.

Nah sekarang kan kebijakannya sudah operasional, kalau sudah operasional kan sudah terlokalisir.

Tapi kan memang butuh pengawasan yang lebih ketat?

Kan sudah pakai satelit, kamu mau ambil dari luar kan ketahuan, kamu dari Myanmar, datang kesitu, kapalnya ini kan ketahuan. Kan tinggal klaim saja kesana. Bisa ke-detect (terdeteksi).

Deteksi berbasis teknologi ya?

Iya

Bisa dideteksi dari Kantor KKP?

Iya dari Kantor KKP, itu bisa termonitor. Gak usah khawatir itu. Kalau kamu mengambil enggak saya langsung tangkap sekarang kan gak masalah. Misalnya nanti tinggal klaim saja, “nih kamu nyolong di sini, jam sekian, di koordinat ini, maka kamu saya denda sekian”.

Ada buktinya ya?

Iya kan

Kalau agak berlebihan, ada Angkatan Laut?

Nah kan begitu, kalau misalnya hari itu kita juga mau langsung intersep juga bisa, tinggal minta tolong Angkatan Laut untuk ditangkap. Tapi kan (patroli) kita keliling juga, ada juga airboat yang kita turunkan disitu.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, saat mengunjungi Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT) Rote Ndao di Nusa Tenggara Timur.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, saat mengunjungi Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT) Rote Ndao di Nusa Tenggara Timur.

Cara kerja Anda dalam membenahi KKP ini tersistematis dan tampaknya kurang terpublikasi dengan baik. Tidak seperti Menteri KKP sebelumnya yang terkesan meriah dengan tagline ‘tenggelamkan’ terhadap kapal-kapal pencuri ikan itu?

Nah, dulu misalnya seperti Mbak Susi, begitu kapal pencuri ikan ditangkap, langsung dibom. Saya bisa saja lakukan itu, tapi terumbu karang di bawah itu rusak. Pengeboman di laut itu kan merusak banyak hal. Biota laut kita kan rusak. Itu yang gak pernah diperhatikan. Cuma dilihat wah dibom, menimbulkan efek jera ya. Pada masa itu silakan saja, tapi kalau masa saya enggak. Saya semua dengan legal, kita punya teknologi satelit, kita punya pengawas yang bisa intersep 24 jam, lalu kita punya airboat surfailance untuk apa. Itu kan bisa kita gunakan.

Terkait banyaknya pegawai KKP bertitel doktor, seperti apa peran mereka di KKP?

Itu untuk meneliti misalnya kualitas air lautnya seperti apa, berdampak juga atau tidak bagi biota, untuk kemudian jadi rusak misalnya. Dan wilayah kita bukan hanya laut loh, termasuk sungai, danau, itu juga jadi wilayah KKP. Genangan air lautnya aja itu juga termasuk wilayah KKP. Danau yang sudah rusak akibat budidaya yang masif, atau misalnya dampak ekologi jadi rusak akibat budidaya.

Apakah Anda ada melihat kartel yang menguasai bisnis-bisnis di perikanan dan kelautan ini?

Jangankan bisnis perikanan kelautan, kartel kan di mana-mana (sambil tersenyum). Saya tidak mau mengatakan itu ya, tapi yang pasti 2,2 juta nelayan tradisional yang tersebar di seluruh Indonesia itu ya tetep miskin.

Padahal potensinya sangat besar?

Iyakan Rp224 triliun dalam setahun. Bahkan bisa lebih dari itu.

Bagaimana dengan potensi perikanan non laut?

Salah satu program KKP yaitu ‘Kampung Budidaya’, pengembangan budidaya kampung yang berbasis kearifan lokal. ‘Kampung Budidaya’ itu semua yang saya buat sudah di announce oleh Presiden.

KKP memesan sejumlah kapal pengawas di Freire Shipyard didampingi Director General, Marcos Freire, saat meninjau ke galangan di Vigo, Spanyol.
KKP memesan sejumlah kapal pengawas di Freire Shipyard didampingi Director General, Marcos Freire, saat meninjau ke galangan di Vigo, Spanyol.

Budidaya yang terkenal itu misalnya di Sumatera Barat yaitu ikan bilih. Ikan bilih itu sudah hampir punah, nah itu salah satu yang saya minta kepada para peneliti kita di KKP yang sekarang mulai bergeser ke BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Nah saya meminta untuk kemudian bisa melakukan pemijahan, supaya bisa beranak pinak.  Juga terhadap ikan belida air tawar, itu juga hampir punah. Nah ini yang juga kita minta, supaya bisa dilakukan pemijahan, Agar bisa budidaya.

Apakah ada targetnya?

Ya, selama masa kepemimpinan saya program itu, saya akan dorong terus itu. Karena kalau kita bicara target waktu kan seharusnya sudah dijalankan sejak jaman pertama kali saat itu masih jadi satu dengan Kementerian Pertanian. Norwegia itu salmonnya terkenal di dunia. Dan bisa menguasai seluruh dunia. Dia butuh waktu 20 tahun untuk melakukan riset budidaya itu.

Nah kita ini doktornya sudah banyak. Kalau mau gugat ke situ ya terlalu lama kita. Jadi kita terlalu banyak gugat ke belakang, mau maju jadi susah. Pokoknya saya minta sekarang, pengembangan kampung budidaya berbasis kearifan lokal. Apa artinya itu, jadi kita mengembangkan biota-biota kita, biota perikanan kita, baik di biota air tawar, maupun di laut, yang berbasis kearifan lokal, yang belum bisa dikembangkan.

Kalau biota itu memiliki ekonomi tinggi tapi belum bisa melakukan pemijahan, maka itu harus dilakukan pemijahan. Harus dilakukan penelitian untuk pemijahan. Apabila sudah bisa melakukan pemijahan, maka itu dikem bangkan terus supaya produktifitasnya tinggi. Jadi, jangan lupa bahwa pasar di dunia itu spesifik. Misalnya kerapu ya kerapu saja. Misalnya belida ya belida saja, kalau ikan lais, ya ikan lais saja, ikan bilih ya bilih saja. Tidak bercampur. Sekarang, itu semua hampir punah.

Sekarang, udang yang terkenal itu namanya udang vaname. Kita dulu punya udang, banyak udang tapi tidak bisa berkembang. Vaname itu udang yang bisa hidup di negara tropis.

Seperti Belitung?

Ya itu udang vaname. Tapi, jangan lupa, siapa yang menemukan udang vaname itu? Bukan peneliti kita. Itu peneliti dari negara sub tropis. Padahal, udang vaname itu berkembang di negara tropis. Nomor satu produktifitas itu ya di negara China, nomor dua itu Peru, nomor  tiga itu India, baru Indonesia. Kita harus bersaing, negara kepulauan kita luas. Nah itu juga salah satu bagaimana budidaya ini tidak dikelola dengan baik.

China itu bikin budidaya tambak udang terbesar di dunia ada di Mesir. Namanya, Evergreen. Luar biasa. Itu 1.200 hektare. Indonesia  enggak punya, coba bayangin. Padahal, udang vaname hidunya di daerah tropis.

Berapa lama target Anda untuk mengangkat harkat hidup 2,2 juta nelayan yang masih miskin itu dengan program-program yang Anda buat?

Jadi, ini kan saya buat per zona. Zona 1, zona 2, zona 3, zona 4, zona 5, dan zona 6. Nanti, misalnya seperti di zona 1 Kepulauan Riau dan Natuna kemudian Kalimantan Barat dan Belitung. Di situ dideteksi berapa jumlah nelayan, berapa kampung nelayan, dicatat berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan berdasarkan alamat. Saya lupa angkanya, ratusan ribu. Tapi secara total nelayan di Indonesia menyebar itu angkanya 2,2 juta. Kalau nelayan tambah istri dan satu anak, berarti dikali 3. Kira-kira sekitar 6.6 juta jiwa.

Nah, bagaimana dia sekarang punya hak. Itu yang paling penting. Dia hidup di situ, turun temurun di situ, dia punya hak di situ. Sehingga, dengan zonasi ini kemudian bisa terdeteksi bahwa di wilayah itu jumlah ikannya ada sekian juta ton.

Sekian juta ton ini saya pangkas 20% harus jadi haknya mereka. Tidak terkecuali. Lalu kemudian, 60%-nya saya jual kepada industri. Jadi industri, investor, mau main di mana? zona 1? di wilayah itu? Oke, boleh. Ini ada 600.000 ton, kamu mau ambil? kamu enggak boleh ambil lebih dari 600.000 ton. Kontraknya begitu. Yang kedua, kamu bayar PNBP 10% dari harga patokan ikan yang nanti saya (KKP) tentukan.

Lalu di situ kan ada ikan 800.000 ton. Dari 800.000 ton itu ada 200.000 ton untuk nelayan di situ. Kalau industri ambil lebih dari 600.000 ton, saya penalti dan harus bayar PNBP lebih. Nah, PNBP yang saya dapet ini dikemanain? Kita gunakan untuk membangun mereka (nelayan). Seperti memperbaiki infrastruktur, kemudian kita berikan kesejahteraan dalam bentuk tunjangan hari tua, kesehatan, dan sebagainya.

Tapi di sisi lain, haknya mereka yang 200.000 itu bisa dia jual juga kepada industri. Jadi ekonomi hanya berputar di situ saja. Ini namanya keberpihakan. Selain ada produk-produk yang memiliki kompetensi khusus, seperti di zona 1 di Natuna itu, misalnya adalah ikan napoleon. Ikan Napoleon itu kan satu ekornya itu Rp1 juta.

Tapi sampai sekarang itu (penangkapan ikan napoleon) dilarang?

Iya karena belum bisa melakukan pemijahan. Dan itu menjadi bagian dari keluarga kerapu. Saya bilang, harus bisa (pemijahan). Sudah bisa sekarang. Inikan persoalan kita mau atau tidak. Jadi enggak ada cerita.

Seperti cerita ikan dari lubuk larangan yang didesain sedemikian rupa. Kalau Anda pergi ke Kecamatan Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, ada ikan dewa yang makannya itu buah. Orang sana bilang, rakyat enggak boleh ambil dan makan ikannya, dan dikatakan akan sakit perut kalau makan ikan tersebut, ini kan politik. Yang boleh makan (harusnya) raja saja.

Jadi datuk-datuk saja yang makan. Ikannya bagus banget. Itu satu kilo Rp2 juta-Rp3 juta harganya. Itu kalau ekspor ke China, di China sana kalau ada restoran kemudian membunyikan “dung” itu tandanya, tamunya mau makan ikan dewa. Masak khusus di situ, artinya ‘raja’ yang mau makan.

Kita itu punya biota yang begitu banyak sekali. Yang kita tidak teliti dengan baik. Ini yang PR (pekerjaan rumah) saya selama satu stage. Katakan satu periode Pemerintahan Jokowi ini lah akan saya realisasikan supaya kita memiliki produk-produk kompetensi. Belum lagi kepiting, namanya tropical crab. Itukan mahal sekali harganya.

Kebijakan yang sekarang ini bisa dijadikan good lucky untuk kedepannya?

Nah, itu yang paling penting. Kebijakan itu kita buat dalam Peraturan Pemerintah, kemudian turunannya adalah Peraturan Menteri, tata kelolanya harus kita jaga. Pondasi ini yang saya tanamkan dalam satu tahun 2021 lalu. Tahun 2022 ini, salah satunya di semester kuartal pertama, yaitu penyelesaian seluruh payung hukum. Diantaranya adalah Peraturan Pemerintah untuk Penangkapan Terukur, kemudian budidaya, dan sebagainya. Nanti kemudian ini kita jalankan sehingga periode-periode yang akan datang ke depan. Media massa juga harus membantu kita mengawasi itu dan kebijakan ini enggak boleh lalai. Fungsi kontrolnya di situ.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono bersama penambak.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono bersama penambak.

Apa program dalam waktu dekat terkait budidaya?

Nah ini, nanti kita akan minta kepada presiden untuk melakukan (ground breaking) pembangunan stream estate? Budidaya tambak udang modern yang berkesinam bungan, itu ada di empat daerah; di wilayah Sumbawa, kemudian di wilayah Aceh Timur, kemudian di Kendari, dan daerah Kebumen Jawa, Tengah.

Apa kendala Anda dalam mewujudkan program-program yang sudah disusun rapi ini?

Kalau kita bicara kendala, ini seperi ayam dan telor. Kalau mau jujur, kalau mau sempurna sebenarnya kan seluruh infrastruktur yang mendukung kebijakan itu harus rapi. Tapi kalau itu dilakukan, sampai pemerintahan ini selesai pun enggak akan selesai. Jadi, itu paralel yang kita jalankan.

Jadi, contoh misalkan kita undang investor, dari luar negeri. Kamu saya kasih kuota, dan kamu harus mendarat di wilayah sini, kamu bangun saja infrastrukturnya, ini saya kasih. Silakan, investor datang pembangunan infrastruktur dilakukan. Paralel kita jalankan. Karena kalau kita tidak lakukan seperti itu, tidak akan jalan. Ini, kebijakan (policynya) sudah bener, kita minta di jalankan, kita awasi dengan baik, dan sarana dan prasaran sambil berjalan.

Jadi enggak ada kendala yang berarti?

Ya kalau kita bicara kendala, misalnya ekspor dari Saumlaki, Maluku atau dari Tual mau atau ekspor, pakai lapangan udara kan enggak bisa langsung. Lapangan udaranya di situ belum bisa ekspor. Ini paralel kita minta supaya Menteri Perhubungan bisa buka juga di daerah agar bisa langsung ekspor. Nanti kita install bea cukai di situ.

Kalau tantangan dari kelompok-kelompok yang sudah merasa nyaman dengan kondisi lampau seperti?

Sudah, ada lah (sambil tersenyum), mereka enggak mau lah diatur dengan cara begitu, dianggap tidak bagus lah. Tapi saya pikir, itu kan kalau yang namanya kebaikan kan tantangannya selalu ada. Orang sudah di zona nyaman terus diganti. Kita minta mereka supaya ke jalan yang bener lah.

Rapat koordinasi KKP secara virtual dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, beserta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Menteri PUPR, Menteri KLHK, Menteri Perhubungan dan Gubernur BI.
Rapat koordinasi KKP secara virtual dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, beserta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Menteri PUPR, Menteri KLHK, Menteri Perhubungan dan Gubernur BI.

Bagaimana keterkaitan universitas, perguruan tinggi, yang connect dengan kementerian, kan dulu ada fakultas perikanan. Apa ada desain tersendiri?

Ada, ini (perguruan tinggi) yang selalu saya libatkan. Jadi saya ingin mengembangkan dalam 25 tahun ke depan itu kita harus memiliki produk kompetensi yang kuat. Jadi artinya misalnya kita seperti di Norwegia itu yang hebat juga di perguruan tinggi. Padahal Norwegia itu produknya hanya ada dua, salmon dan lobster daerah dingin.

Nah ini saya minta, saya challenge kepada akademisi-akademisi. Kita ada ribuan produk unggulan. Kerapu saja ada banyak jenisnya, ada kerapu sunu, kerapu macan dan lainnya. Pasarnya luar bisaa besarnya. Belum lagi teripang. Teripang itu belum biasa dipijahkan. Itu saya tantang pada seluruh perguruan tinggi yang ada. Jadi sekarang seperti UNPAD misalnya, Fakultas Perikanannya meneliti itu.

Saya minta harus riset. Riset untuk pengembangan budidaya. Riset terhadap bagaimana produktifitasnya. Saya tantang, saya gandeng perguruan tinggi. UNPAD, UNDIP, Brawijaya, Unievrsitas Riau, Universitas Kepulauan Riau, Universitas Udayana, dan Universitas Pattimura, semua saya tantang. Selain kita juga punya pendidikan vokasi, ada 14 politeknik di bawah KKP, yang kita ciptakan untuk tenaga terampil yang siap untuk kerja di sektor perikanan. Nah kalau universitas tadi harus masuk ke riset.

Waktu saya pidato di UNPAD, saya sampaikan bahwa Anda sebagai universitas, Anda harus masuknya ke sektor yang paling critical, yaitu riset. Jadi bagaimana riset itu berkembang. Ini (menunjukkan video tambak udang di Mesir). Ini rencananya saya mau bikin ini, di Sumbawa, Kendari, Aceh. Saya cerita ini ke Presiden, Presiden bertanya apa bisa kita bikin dan saya jawab saya mau bikin dan nanti Presiden yang groundbreaking. Kita kalau enggak begitu, negara ini mundur terus.