Penanganan perkara Jiwasraya dan Asabri yang dilakukan oleh penyidik pada Jampidsus Kejagung banyak ditemukan penyimpangan. Penyidikan yang diharapkan berjalan sesuai aturan malah menimbulkan permasalahan hukum yang baru.
Untuk menutupi kerugian negara, penyidik melakukan penyitaan-penyitaan aset yang dijadikan barang bukti. Namun, dalam penyitaan tersebut, ada juga aset-aset yang tidak terkait dengan perkara. Dan gugatan pun dilayangkan ke Kejagung.
Belakangan, dengan alasan besarnya biaya perawatan, barang bukti hasil sitaan pun akan dilelang Kejagung. Dan permasalahan hukum lainnya pun kembali muncul.
Seperti apa tanggapan Komisi Kejaksaan atas upaya penyidikan dan permasalahan baru yang muncul dalam perkara Jiwasraya dan Asabri? Berikut hasil wawancara tertulis KEADILAN dengan Ketua Komjak Barita Simanjuntak:
Ada pendapat pakar terkait penangan kasus Jiwasraya agar digelar eksaminasi nasional. Apakah Anda setuju atau tidak? Apa alasannya?
Eksaminasi Nasioanal tidak diatur dalam KUHAP dan saat ini perkara Jiwasraya sudah memasuki tahap upaya hukum kasasi, dimana dalam tahap PN dan PT perkara tersebut telah terbukti, sehingga kita wajib
menghormati putusan pengadilan tersebut.
Menurut Anda dimana kekeliruan penanganan perkara Jiwasraya ini?
Perkara ini sudah memasuki tahap peradilan dan sudah diperiksa diputus terbukti oleh PN dan PT. Saat ini perkara tersebut sudah memasuki tahap upaya hukum sehingga menjadi ranah Mahkamah Agung untuk
memeriksa perkara tersebut.
Investigasi kami menemukan banyak saksi diperiksa dan barangnya disita, namun BAP tidak masuk ke dalam berkas sedangkan barang bukti yang disita masuk berkas. Apakah hal itu dibolehkan dalam
penyidikan?
Itu menjadi kewenangan penyidik untuk menilai BAP saksi-saksi maupun barang bukti yang perlu dimasukkan dalam berkas perkara atau tidak, dengan mempertimbangkan saksi-saksi maupun barang bukti yang dapat mendukung pembuktian perkara tersebut.
Kelengkapan formil dan materiil berkas perkara tersebut juga telah diteliti oleh penuntut umum pada saat prapenuntutan dan setelah pemeriksaan di tahap
PN dan PT telah dinyatakan terbukti. Selain itu persidangan tindak pidana korupsi dibatasi dengan waktu 120 hari sehingga penyidik dan JPU telah memperhitungkan jumlah dan urgensi keterangan saksi yang dimasukkan di dalam berkas perkara.
Jaksa menyatakan saksi-saksi yang BAP-nya tak masuk berkas tersebut adalah nomine-nomine Benny Tjokrosaputro. Di persidangan JPU tanpa memeriksa saksi yang BAP-nya tidak masuk berkas tersebut menyatakan barang bukti milik Benny dan menuntut Benny terbukti terlibat perkara Jiwasraya melalui nomine- nomine tersebut. Apakah bisa pembuktian seperti ini?
Karena ini sudah menyangkut teknis penyidikan dan penuntutan serta mengingat perkara tersebut sudah tahap peradilan maka menjadi kewenangan hakim pada setiap tahapan untuk menilainya. Mengingat perkara ini sudah diperiksa dan diputus oleh PN dan PT, maka seyogyanya kita harus menghormati putusan pengadilan tersebut.
Dalam kasus Jiwasraya terdapat 124 emiten (pemilik saham) yang menjual saham kepada Jiwasraya sebesar Rp16,8 Triliun. Namun Kejaksaan hanya mengusut 2 emiten saja. Menurut Anda logis atau tidak cara Jaksa dalam mengusut kasus itu?
Karena ini sudah menyangkut teknis penyidikan dan penuntutan serta mengingat perkara tersebut sudah
dalam tahap peradilan maka menjadi kewenangan hakim pada setiap tahapan untuk menilainya.
Saat ini Kejaksaan Agung berencana melelang aset-aset yang disita dalam kasus Jiwasraya dan Asabri yang belum berkekuatan hukum tetap (inkrah). Apa pendapat Anda soal ini?
Sesuai pasal 45 KUHAP, hal tersebut memang dimungkinkan
Menurut Anda alasan mahalnya biaya perawatan sudah cukup untuk melelang barang bukti?
Alasan mahalnya biaya perawatan barang bukti merupakan salah satu alasan yang disebutkan dalam pasal 45 KUHAP yang membolehkan barang bukti untuk dilelang oleh penyidik atau penuntut umum.
Jampidsus Ali Mukartono mengatakan jika dikemudian hari barang bukti yang sudah dilelang adalah milik pihak ketiga maka barang bukti yang sudah dijadikan uang tersebut itu akan dikembalikan kepada pemilik aslinya. Apakah itu dibolehkan dan apa itu tidak merugikan pemilik?
Eksekusi atas barang bukti yang sudah dilelang tentunya didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga Jaksa selaku eksekutor akan berpedoman terhadap putusan tersebut.
Pelelangan tersebut juga untuk menyelamatkan barang bukti dari penyusutan nilainya, sehingga apabila
dikembalikan pun nilainya diharapkan tidak terlalu mengalami penyusutan.
Seandainya barang bukti itu benar-benar dilelang yang bisa saja harganya menjadi murah di pelelangan mengingat statusnya bermasalah secara hukum. Bila dikemudian hari Ketika perkara berstatus inkrah atau
berkekuatan hukum tetap, barang bukti tersebut dinyatakan tidak terkait perkara dan bukan pula milik terdakwa, tentu barang bukti itu harus dikembalikan lagi kepada pemilik aslinya.
Pertanyaannya, Seandainya pemilik barang bukti meminta barangnya dikembalikan seperti sediakala, siapa yang harus
bertanggung jawab?
Pihak yang merasa dirugikan dapat menempuh jalur hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan pasal 45 ayat (2) maka hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti, maka barang bukti berupa uang tersebut yang dilakukan eksekusi sesuai putusan hakim.
Seandainya Jaksa dipaksa mengembalikan barang bukti yang terlanjut dilelang dengan harga murah dalam kondisi sediakala, tentu negara dirugikan karena harus menebus Kembali dengan harga normal setelah terlanjur dilelang murah. Siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian negara ini?
Sebelum melakukan pelelangan tentunya Kejaksaan Agung telah melakukan appraisal terhadap nilai/harga barang bukti yang akan dilelang dengan melibatkan pihak-pihak/lembaga yang berwenang dan lelang tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan atau mekanisme yang berlaku. Jaksa akan melakukan eksekusi terhadap hasil pelelangan tersebut berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Jaksa Agung mengatakan akan mengusut auditor BPK dengan pasal menghalangi penyidikan gara-gara terlambat mengeluarkan hasil audit perkara Asabri. Apakah ini bisa disebut mengancam BPK?
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Kejaksaan tidak bisa dianggap sebagai melakukan pengancaman terhadap pihak lain.
Bagaimana kedudukan Jaksa Agung dengan BPK? Bolehkah masing-masing pihak mengintervensi pihak lain?
Kedudukan BPK setara dengan Presiden, Mahkamah Agung, DPR, sehingga kedudukan Jaksa Agung sebagai pembantu Presiden kecil kemungkinan untuk mengintervensi BPK ataupun saling mengintervensi. Setiap lembaga mempunyai kemandirian dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional dan akuntabel.
Seberapa merdekakah BPK dalam mengaudit kerugian negara sebuah perkara?
BPK sebagai lembaga tinggi negara tentunya dalam menjalankan tugasnya berdasarkan pada ketentuan perundangan-undangan dan SOP yang berlaku di BPK. Kita harus memberikan kepercayaan kepada BPK sebagai lembaga tinggi negara yang berwenang melakukan audit terhadap kerugian keuangan negara dalam menjalankan tugasnya dilakukan dengan profesional dan akuntabel, mengingat hasil Laporan Hasil Pemeriksaan dari BPK tersebut nantinya akan diuji di persidangan.
Siapakah yang berwenang menegur Jaksa Agung apabila dalam pelaksanaan tugasnya menggunakan kewenangannya untuk mengancam atau menekan lembaga negara lain?
Mengingat Jaksa Agung adalah pembantu Presiden, maka apabila memang terbukti demikian, maka yang berwenang adalah Presiden
Boleh atau tidak atau etis atau tidak Jaksa Agung mengumumkan penyelidikan sebuah perkara mengingat penyelidikan ini bersifat rahasia?
Tentunya hal tersebut telah dipertimbangkan oleh Jaksa Agung dan merupakan salah satu bentuk akuntabilitas publik
CHAIRUL ZEIN