KEADILAN- Merebaknya virus corona (Covid-19) di Indonesia saat ini membuat persidangan dilakukan dengan cara online yakni melalui video conference. Hal tersebut untuk menekan meluasnya penyebaran Covid-19.
Berkaitan dengan upaya mencegah penyebaran Covid-19, pada 20 April 2020 Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3/2020 Jo No. 1/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di lingkungan MA dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.
Ombudsman Republik Indonesia mencatat, hampir semua protokol kesehatan pencegahan Covid-19 telah dilaksanakan oleh pihak pengadilan negeri. Sebanyak 15 pengadilan negeri atau 94% dari 16 pengadilan negeri telah menyiapkan tempat cuci tangan, hand sanitizer, kewajiban penggunaan masker bagi semua pihak.
Sementara terkait ketersediaan sarana sterilisasi atau bilik disinfektan, terdapat 81% atau 13 pengadilan negeri yang belum menyediakan.
Kajian ini juga menunjukkan bahwa terdapat 11 pengadilan negeri atau 69% telah menerapkan kebijakan pembatasan terhadap jumlah pengunjung.
Selain itu, terdapat 13 pengadilan negeri atau 87% telah menerapkan sistem piket, serta 15 pengadilan negeri atau 94% tetap membuka pelayanan front office/Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Kemudian, masih terdapat pengadilan yang tetap menghadirkan saksi dalam persidangan perkara pidana, yaitu 56% atau 9 pengadilan negeri. Di tengah situasi pendemi Covid-19, terdapat 37% atau 6 pengadilan negeri yang melakukan pembatasan pendaftaran perkara perdata.
Namun Ombudsman menemukan potensi maladministrasi dalam penyelenggaraan persidangan online sepanjang pandemi Covid-19. Ada dua jenis maladministrasi sesuai unang-undang, yakni maladministrasi terkait dengan penundaan berlarut dan maladministrasi terkait tidak kompeten dalam pelaksanaan persidangan.
Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala, menyarankan MA untuk membuat peraturan Mahkamah Agung terkait penyelenggaraan sidang secara online. Hal itu guna memperkuat kedudukan sidang online yang selama ini baru diatur melalui surat edaran Ketua MA.
“Segera mengeluarkan peraturan MA yang lebih memperkuat posisi atau peran dari sidang online ini. Sebagaimana diketahui, bahwa sejauh ini hanya dibangun dengan berbasis pada surat edaran Ketua MA yang tentu saja tidak cukup untuk itu,” tegas Adrianus dalam konferensi pers, Selasa (9/6/2020).
Adrianus melanjutkan, Ombudsman juga mendorong MA untuk menyusun regulasi terkait standarisasi sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan persidangan online. Sebab, Ombudsman masih menemukan sejumlah kendala dalam penyelenggaraan sidang online. Antara lain keterbatasan ruang sidang yang memiliki perangkat untuk menggelar sidang melalui telekonferensi.
“Untuk menyediakan anggaran, menyediakan SDM yang cukup, sehingga kemudian sidang online berjalan dengan baik dan memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak,” sambung Adrianus.
Mestinya, kata Adrianus, pihak MA melalui pengadilan negeri di tiap daerah juga mengoptimalkan koordinasi dengan instansi penegak hukum lain dalam rangka penyelenggaraan persidangan secara online.
Ombudsman melihat ada empat faktor yang menyebabkan potensi maladministrasi tersebut yakni keterbatasan sarana dan prasarana. Pertama, keterbatasan sarana dan prasarana di pengadilan negeri berupa keterbatasan perangkat untuk menggelar sidang secara online, baik di ruang pengadilan dan di luar pengadilan, khususnya di rumah tahanan dan lapas.
Keterbatasan sarana dan prasarana itu juga terlihat dari jaringan internet yang kurang stabil sehingga jalannya persidangan terkadang putus-putus, kualitas perangkat audio atau aplikasi telekonferensi yang kurang baik serta tidak adanya genset ketika terjadi gangguan listrik.
“Hal ini mengakibatkan jadwal sidang menjadi lebih lama karena harus bergantian,” kata Asisten Analisis Pencegahan Maladministrasi Ombudsman Muhammad Pramulya Kurniawan.
Kedua, minimnya sumber daya manusia di bidang IT. Menurutnya, tenaga IT yang terbatas menyebabkan persiapan persidangan virtual menjadi lamban. “Terlebih jika terdapat kendala teknis di tengah persidangan,” lanjut Kurniawan.
Faktor ketiga, koordinasi antarinstansi dan antarlembaga yang kurang optimal, serta ketidakjelasan waktu jalannya persidangan. Hal ini dikarenakan kurangnya persiapan dari pihak lain di luar pengadilan. Faktor terakhir ialah ketidakjelasan waktu jalannya persidangan.
Kesimpulan tersebut didapat atas hasil kajian Ombudsman yang dilakukan melalui empat metode yaitu focus group discussion, wawancara, observasi, dan survei. Kajian dilakukan dalam kurun waktu 5-5 Mei 2020 dengan 16 pengadilan negeri yang menjadi sampel yaitu PN Jakarta Pusat, PN Jakarta Selatan, PN Depok, PN Bogor, PN Cibinong, dan PN Bekasi.
Kemudian, PN Tangerang, PN Serang PN Medan, PN Batam, PN Jambi, PN Surabaya, PN Denpasar, PN Banjarmasin, PN Kupang, dan PN Manokwari.
Adrianus menuturkan, temuan Ombudsman tersebut harus menjadi peringatan bagi MA untuk memperbaiki penyelenggaraan sidang secara online di tengah pandemi Covid-19.
“Ini bukanlah vonis. Ini bukanlah suatu hal yang salah. Karena ini adalah suatu dugaan awal kami yang kemudian kami harapkan bisa segera diperbaiki,” pungkas Adrianus.
AINUL GHURRI













