KEADILAN – Sidang praperadilan korupsi impor gula yang diajukan bekas Menteri Perdagangan RI 2015-2016 Thomas Lembong masuk hari kelima. Kejaksaan Agung sebagai termohon menghadirkan lima pakar hukum sebagai saksi. Kelimanya mementahkan argumen pengacara Lembong. Namun pengacara Lembong, Ari Yusuf Amir menolak affidavit atau pernyataan tertulis di bawah sumpah yang diserahkan dua saksi ahli.
Lima saksi ahli itu adalah Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Agus Surono. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho. Ahli Hukum Administrasi Negara Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Ahmad Redi. Direktur Investigasi I Deputi Bidang Investigasi BPKP Evenri Sihombing. Dan, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Taufik Rachman.
Dalam persidangan jaksa menanyakan soal kewajiban penyidik dalam menunjuk penasihat hukum jika tersangka tidak ingin didampingi. “Menurut saya, itu bagian dari bagaimana meletakkan effort. Seorang tersangka harus ada penasihat hukumnya,” kata Hibnu.
Hibnu menambahkan, meskipun ada masalah terkait kecocokan antara tersangka dan penasihat hukum yang ditunjuk, negara tetap wajib menunjuk penasihat hukum sebagai bentuk kesetaraan hukum.
Jaksa melanjutkan dengan bertanya apakah kewajiban ini tetap berlaku jika tersangka telah menandatangani berita acara penolakan pendampingan hukum. Menjawab pertanyaan tersebut, Hibnu menegaskan bahwa penyidik tetap wajib menunjuk penasihat hukum, dan jika tersangka tetap menolak, harus dibuat berita acara penolakan.
“Dalam hal menolak, wajib menunjuk. Tapi kalau menolak, berita acara penolakan harus dibuat, sehingga seorang penyidik jangan sampai disalahkan,” ujarnya.
“Kewajiban undang-undang adalah menunjuk dan menghadirkan penasihat hukum, sebagai bentuk equal,” sambungnya.
Pertanyaan jaksa tersebut diajukan jaksa untuk menyangkal tuduhan Lembong bahwa dirinya dipaksa menerima pengacara yang ditunjuk Kejaksaan Agung. Melalui keterangan ahli tersebut, Kejaksaan Agung ingin menunjukkan bahwa penunjukkan pengacara bagian dari perintah undang-undang hingga tuduhan pengacara Lembong bahwa jaksa melanggar hukum jadi mentah.
Selain menjawab tuduhan soal pelanggaran dalam penunjukan pengacara untuk Lembong, jaksa juga meminta Hibnu memberikan penjelasan tentang penetapan tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi, yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime.
Menurut Hibnu, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), penetapan tersangka memerlukan bukti awal atau bukti permulaan yang cukup. “Dua alat bukti itu merujuk pada Pasal 184, termasuk Pasal 28 kalau terkait dengan screenshot, kemudian bukti-bukti elektronik dan sebagainya,” terang Hibnu.
Ia juga menjelaskan, pembuktian kerugian negara dalam kasus korupsi harus dihitung oleh pejabat berwenang, sesuai putusan MK Nomor 3 Tahun 2006. “Kerugian negara itu terbatas pada waktu itu dan dihitung oleh pejabat yang berwenang,” katanya.
Jaksa lalu menanyakan pendapat Hibnu mengenai pernyataan pengacara Lembong bahwa penyidik wajib memberikan laporan hasil pemeriksaan (LHP) dengan nilai kerugian negara yang final dari auditor untuk menetapkan tersangka. Hal ini dianalogikan dengan kebutuhan visum et repertum dalam kasus pembunuhan.
Hibnu menilai, perbandingan ini tidak relevan karena pembunuhan adalah pidana umum, sedangkan korupsi adalah tindak pidana extra ordinary crime. “Itu tidak apple to apple karena pembunuhan adalah pidana umum, sementara korupsi adalah tindak pidana luar biasa. Dalam pembunuhan, ada saksi langsung di tempat kejadian, sedangkan LHP adalah bukti awal atau permulaan dalam kasus korupsi,” pungkasnya.
Melalui keterangan ahli tersebut, jaksa kembali mementahkan argumen pengacara lembong bahwa penetapan tersangka sebelum audit final untuk menentukan angka pasti kerugian negara sebagai pelanggaran prosedur. Terutama mematahkan analogi dengan kasus pembunuhan yang harus didahului visum terlebih dulu untuk menetapkan tersangka.
Penolakan Pengacara Lembong
Menggapi kesaksian lima ahli hukum tersebut, pengacara Tom Lembong bereaksi keras. Pengacara Ari Yusuf Amir menolak affidavit atau pernyataan tertulis di bawah sumpah yang diserahkan dua saksi ahli. Affidavit tersebut ditudingnya sebagai hasil plagiasi.
Ari menuding kedua saksi ahli hukum pidana, Taufik Rachman dari Universitas Airlangga dan Hibnu Nugroho dari Universitas Jenderal Soedirman, diduga saling menjiplak. “Kata demi kata, spasi, bahkan tanda bacanya sama. Saya ingin tanya, siapa yang menyontek? Bapak prof yang menyontek?” ujar Ari dalam sidang, Jumat (22/11/2024).
Pernyataan tersebut memicu keberatan dari jaksa Kejaksaan Agung, Zulkifli. “Keberatan, Yang Mulia. Keberatan,” ucapnya, memotong pernyataan Ari.
Namun, Ari tetap melanjutkan keberatannya, menyatakan bahwa affidavit tersebut diragukan kredibilitasnya. “Ini resmi diserahkan ke pengadilan. Saya sudah mengonfirmasi ke beliau ini adalah karya beliau. Ini kredibilitas universitas. Kami tak menerima pendapat ahli ini, karena itu kami tak memberikan pertanyaan atau tanggapan,” terang Ari.
Hakim tunggal Tumpanuli Marbun yang memimpin sidang akhirnya memutuskan untuk mengembalikan affidavit dari kedua saksi ahli. Hakim menegaskan, hanya akan mempertimbangkan keterangan saksi yang disampaikan langsung di persidangan.
“Kalau affidavit yang disampaikan seperti itu, kita kembalikan. Nanti apa yang dijelaskan dalam proses sebagai ahli, itu yang kami catat,” ujar Hakim Tumpanuli.
Meski affidavit dikembalikan, Ari terus mempertanyakan proses penyusunan naskah pendapat hukum kedua saksi. Ia bahkan menuding bahwa dokumen tersebut disiapkan oleh Kejaksaan Agung.
“Anda (Kejagung) yang buat? Atau beliau (saksi ahli) yang buat? Ini namanya konspirasi. Bagaimana pendapat bisa dibuatkan oleh jaksa?” tegas Ari.
Jaksa Zulkifli kembali keberatan dengan pernyataan Ari yang tidak berdasar. “Keberatan, Yang Mulia. Itu menuduh,” tandas Zulkifli.
Sangkaan untuk Lembong
Sekedar diketahui, Kejagung telah menetapkan dua tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi kegiatan importasi gula Kementerian Perdagangan 2015-2023. Keduanya Thomas Trikasih Lembong selaku Menteri Perdagangan periode 2015-2016 dan Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Dalam keterangannya, Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menuturkan dugaan pidana korupsi impor gula Tom Lembong terjadi pada 2015 sampai 2016. Pada 2015, Tom Lembong memberikan kuota impor dengam dalih stabilisasi harga kepada perusahaan swasta yaitu PT AP pada 12 Oktober 2015. Padahal saat itu stok gula nasional untuk 2015 dinyataksn cukup oleh Rapat Kordinasi Kabinet pada Mei 2015.
Pada 2016, Tom Lembong kali ini memberikan persetujuan impor kepada 8 perusahaan swasta. Padahal sesuai peraturan perundang-undangan, pihak yang dizinkan melakukan impor gula kristal putih hanya BUMN. Alasan hanya BUMN yang dibolehkan melakukan impor gula supaya pemerintah dapat melindungi kepentingan umum dengan mengendalikan harga tetap di bawah harga eceran tertinggi (HET). Sebab, hanya harga jual produk BUMN yang bisa dikendalikan pemerintah.
Gara-gara keputusan Lembong memberikan kuota impor kepada 8 perusahaan swasta pada 2016 tersebut, pemerintah akhirnya gagal melindungi kepentingan umum. Pasalnya gula yang diimpor itu kemudian disalurkan sendiri oleh 8 importir swasta dengan menggunakan jaringan distributor terafiliasi. Akhirnya rantai tata niaga semakin panjang dan harga alhirnya melambung tinggi jauh melebihi HET. Dampaknya masyarakat menjadi korban dan korporasi yang diberikan kuota impor oleh Lembong menikmati keuntungan berlipat-lipat.
Kasus Lembong ini kemudian menjadi polemik dan dinarasikan bernuansa politik. Pasalnya Lembong pada Pilpres 2024 menjadi Wakil Ketua Tim Sukses salah satu calon yang kemudian kalah dalam Pilpres. Muncul lah narasi bahwa Kejagung menjadi alat balas dendam politik.
Saat ini Tom Lembong melalui kuasa hukum mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Domain praperadilan adalah memeriksa sahnya penyidikan, penyitaan dan penetapan penahanan. Bukan menguji alat bukti pokok perkara.
BACA JUGA: Guru Besar Keuangan Berpendapat Kerugian Negara dalam Korupsi Impor Gula Lembong Sangat Nyata














