Gradasi Laporkan 3 Hakim MA yang Putuskan Batas Usia Pilgub ke KY

KEADILAN – Sekelompok orang yang tergabung dalam Gerakan Sadar Demokrasi dan Konstitusi (Gradasi) melaporkan Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) ke Komisi Yudisial (KY) soal putusan syarat usia kepala daerah.

Direktur Gradasi, Abdul Hakim, menilai ketiga hakim yang mereka laporkan di antaranya Hakim Ketua Yulius, serta Cerah Bangun dan Yudi Martono Wahyudani sebagai Hakim Anggota. Abdul menganggap, ketiganya terlibat dalam memeriksa, mengadili, hingga memutus Perkara Nomor 23 P/HUM/2024 ke KY.

Senada, Koordinator Gradasi, Zainul Arifin, berharap ketiga hakim tersebut agar diperiksa dan dijatuhkan hukuman pencopotan. “Harapan kami pencopotan jika jelas terbukti. Setidaknya, ada ketegasan KY dalam mengklarifikasi dan memanggil pihak tersebut (ketiga hakim). Kami siap memberikan keterangan jika memang perlu dikonfrontir,” ujar Zainul, di Kantor Komisi Yudisial, Jakarta, Senin (3/6/2024).

Hakim menillai muncul beberapa pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim. Hal ini diatur dalam Keputusan Bersama Ketua MA Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua KY Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009. Ia juga mengatakan, proses pemeriksaan itu terlalu singkat dan terkesan terburu-buru.

“Dalam perkara a quo, hanya dalam waktu kurang dari tiga hari dari tanggal 27 Mei 2024 sejak didistribusikan sampai pembacaan putusan 29 Mei 2024 kemarin. Kami menduga kuat, perkara a quo menjadi perkara prioritas yang didahulukan. Ini diistimewakan dibandingkan dengan beberapa perkara lain yang diajukan ke MA sehingga hakim terkesan tidak independen. Ini diduga melanggar asas imparsialitas (ketidakberpihakan) dan tidak berintegritas. Sebenarnya, ika melihat kajian pengujian di MA menurut kajian PSHK, putusan itu butuh waktu sekitar 6 dan atau 50 bulan. Kok, bisa secepat itu? Patut ini kami curigai,” jelas Hakim.

Selain itu, Gradasi juga menganggap putusan MA itu terkesan problematic. Pasalnya, memperluas tafsiran Pasal 4 Ayat 1 huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020, yang pada pokoknya berbunyi, “sejak ditetapkan menjadi calon” diubah menjadi “sejak pelantikan.”

“Aneh, putusan itu menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga sangat fatal dalam memahami logika hukum dan merusak keadilan. Ini melampaui kewenangannya, secara teoritis dan normatif bukan kewenangan MA melainkan open legal policy. Sehingga seolah-olah putusan itu terkesan dipaksakan dan melampaui kewenangannya,” paparnya.

Keanehan lainnnya, Gradasi turut menyoroti tiadanya relevansi konstitusional materiil yang diujikan dalam perkara itu. “Serta tidak adanya validasi kepastian hukum karena disandarkan pada sesuatu yang tidak pasti sehingga putusan ini inkonstitusional,” jawabnya.

Reporter: Ceppy Febrinika Bachtiar
Editor: Penerus Bonar

BACA JUGA: Safety First tetap Jadi Semboyan Utama PSF Group Bangun Persada PSF Sport Center