KEADILAN– Corporate Secretary (Corsec) Divisi Head PT Antam Tbk Syarif Faisal Al Qadri mengatakan, Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01 hanya bisa menjual produk emas dalam negeri dengan batas maksimal Rp 2 miliar.
“Dari sisi kewenangan untuk kepala butik, kalau saya lihat di suratnya ini melebihi dari Rp 2 miliar, seharusnya ke Pulo Gadung,” ucap Faisal di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (10/9/2024).
Menurutnya, batasan itu berdasarkan ketentuan Nota Dinas Nomor 148/PLM/215/2018 tentang Pedoman Pemasaran Produk dan Jasa.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa butik penjualan emas hanya bisa melakukan transaksi maksimal senilai Rp 2 miliar.
Dalam perkara ini, pembelian emas yang dilakukan Budi Said yang dianggap melebihi batas, seharusnya dilakukan di Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) Pulo Gadung.
“Pembelian di atas nominal tersebut diarahkan untuk melakukan transaksi melalui Pulo Gadung (Jakarta) Kantor Pusat. Biaya pengiriman dari Pulo Gadung ke butik dibebankan oleh konsumen,” terang Faisal.
Diketahui, dalam surat dakwaan disebutkan bahwa total ada dua kali pembelian emas yang dilakukan Budi Said. Pertama, pembelian emas sebanyak 100 kilogram ke BELM Surabaya 01.
Namun saat itu, BELM Surabaya tidak memiliki stok, sehingga meminta bantuan stok dari Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPPLM) Pulo Gadung PT Antam.
Harga yang dibayarkan Budi Said untuk 100 kilogram emas Rp25.251.979.000. Padahal, harga tersebut seharusnya berlaku untuk 41,865 kilogram emas.
“Sehingga terdakwa Budi Said telah mendapatkan selisih lebih emas Antam seberat 58,135 kilogram yang tidak ada pembayarannya oleh terdakwa,” kata jaksa.
Pembelian kedua, Budi Said membeli 7,071 ton emas kepada BELM Surabaya 01 Antam. Saat itu, ia membayar Rp3.593.672.055.000 (Rp3,5 triliun) untuk 7.071 kilogram atau 7 ton lebih emas Antam. Namun dia baru menerima 5.935 kilogram.
Kekurangan emas yang diterimanya itu, sebanyak 1.136 kilogram atau 1,13 ton kemudian diprotes oleh Budi Said.
“Terdakwa Budi Said secara sepihak menyatakan terdapat kekurangan serah emas oleh PT Antam dengan cara memperhitungkan keseluruhan pembayaran emas yang telah dilakukan oleh terdakwa Budi Said sebesar Rp3.593.672.055.000 untuk 7.071 kilogram namun yang diterima oleh terdakwa Budi Said baru seberat 5.935 kilogram, sehingga terdapat kekurangan serah emas kepada Terdakwa Budi Said sebanyak 1.136 kilogram,” terang JPU.
Rupanya, dalam pembelian 7 ton lebih emas Antam itu, ada perbedaan persepsi harga antara Budi Said dengan pihak Antam.
Dari pihak Budi Said saat itu mengaku, telah menyepakati dengan BELM Surabaya harga Rp505 juta untuk per kilogram emas. Harga tersebut ternyata lebih rendah dari standar yang telah ditetapkan Antam.
“Bahwa sesuai data resmi PT Antam Tbk dalam harga harian emas PT Antam sepanjang tahun 2018 tidak ada harga emas sebesar Rp505.000.000 per kg sebagaimana diakui terdakwa sebagai kesepakatan harga transaksi,” kata JPU.
Berdasarkan penghitungan harga standar Antam, uang Rp3,5 triliun yang dibayarkan Budi Said semestinya berlaku untuk 5,9 ton lebih emas.
“Sehingga tidak terdapat kekurangan serah Emas PT Antam kepada terdakwa Budi Said dengan total 1.136 kilogram,” katanya.
Akibat perbuatannya, Budi Said dianggap telah merugikan keuangan negara melalui PT Antam disebut-sebut merugi hingga Rp1,1 triliun.
Dari pembelian pertama, perbuatan Budi Said bersama pihak broker dan BELM Surabaya disebut merugikan negara hingga Rp92.257.257.820. Dari pembelian kedua, negara disebut telah merugi hingga Rp1.073.786.839.584.
“Kerugian keuangan negara sebesar 1.136 kilogram emas atau setara dengan Rp1.073.786.839.584,” ungkap jaksa.
Dengan demikian, Budi Said dalam perkara ini dijerat Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
- Reporter: Ainul Ghurri
Editor: Darman Tanjung