KEADILAN – Seorang nenek tua, Pintalan Br Sigalingging (93) tak kuasa menahan tangis setelah PT Kereta Api Indonesia (KAI) Regional I, Sumatera Utara (Sumut) mengobok-obok rumahnya di Gang Sabang, Kelurahan Tegal Sari Satu, Kecamatan Medan Denai.
Uniknya, dari puluhan, bahkan ratusan rumah yang berada didekat rel kereta api, hanya rumah nenek tua itu saja yang dikosongkan. Sementara bangunan yang ada didepan, disamping kiri dan kanannya luput dari pengosongan.
Kuasa Hukum nenek tua itu, Sabar Hasudungan Marbun mengatakan, dikosongkannya rumah nenek tua itu mengindikasikan adanya perlakuan tidak adil. “Nenek itu sudah tinggal dirumahnya selama kurang lebih 50 tahun. Dan selama itu pula nenek itu membayar pajak bumi dan bangunan kepada negara. Sekarang rumahnya dikosongkan paksa,” kata Sabar kepada keadilan.id, Selasa (29/6).
Menurut sabar, jika berbicara pada azas kepatutan dan keadilan, semestinya PT KAI mengerti arti dari equality before the law. “Ini terkesan berat sebelah, kalau nenek ini salah mestinya negara tidak meminta atau menerima PBB nya. Atau, jika nenek ini salah mengapa bangunan yang ada didepannya, disamping kiri dan kanannya tidak diperlakukan serupa? Ini yang menurut kami ada perbuatan tidak adil,” ujarnya.
Uniknya, masih kata dia, petugas yang mengosongkan paksa rumah nenek tua itu tidak menunjukkan surat perintah dari pimpinan atau pejabat berwenang dari PT KAI untuk proses pengosongan rumah tersebut.
“Mungkin, karena nenek itu sudah tua dan tak punya ‘beking’ orang kuat atau pejabat di pemerintahan makanya dipandang sebelah mata,” sebutnya didampingi rekannya Robby Marshel Sinaga.
Dia menjelaskan, bila dilihat dari tapal batas jarak antara Rel Kereta Api ke rumah Pintalan, sekitar 23,6 meter. Sedangkan deretan rumah dan bangunan yang bersebelahan dengan rumah Pintalan, jauh lebih dekat dengan rel.
“Disinilah letak tebang pilihnya. Apa salah klien kami? Dari segi jarak ke tapal batas rel saja sudah jauh justru yang berada didekat rel itu tidak dikosongkan. Kok rumah klien kami saja yang dikosongkan PT KAI. Mungkin kah PT KAI salah orang?” jelasnya.
Karena itu, Sabar dan kawan-kawan menyurati kementrian BUMN untuk meninjau langsung lokasi. Apalagi, Pintalan sudah menempati rumah tersebut sejak tahun 1972.
“Kami berharap agar menteri BUMN yang terhormat melihat kondisi rumah Pintalan yang dipaksa keluar dari rumahnya. Klien kami ini orang susah yang sudah tidak bisa jalan. Harusnya negara hadir di kasus ini,” kata Marsel menambahkan.
Selain menyurati Menteri BUMN, tim hukum Pintalan juga melayangkan surat ke Presiden Jokowi, Komnas HAM, Kapolri, Menkumham, Gubernur Sumut, Wali Kota Medan dan Menteri Perhubungan. “Secara resmi, kami sudah melaporkan kasus ini ke Polda Sumut, mohon perhatian aparat hukum,”pungkasnya.
Frans Marbun