KEADILAN – Berkas perkara korupsi bekas Menteri Perdagangan Thomas Trikasig Lembong dilimpahkan penyidik ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat, Jumat (14/02/2025). Pelimpahan itu menandai tuntasnya perkara korupsi eks pembantu mantan Presiden Joko Widodo tersebut.
Pelimpahan berkas perkara juga diikuti penyerahan tersangka Thomas Lembong kepada penuntut umum. Setelah diterima penuntut umum, status Thomas Lembong berubah dari tersangka menjadi terdakwa perkara korupsi impor gula.
Selain melimpahkan berkas perkara Thimas Lembong, penyidik juga melimpahkan berkas perkara Charles Sitorus. Charles menjadi tersangka korupsi impor gula bersama Thomas Lembong selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perdagangan Indonesia.
Pihak penuntut umum dari Kejari Negeri Jakarta Pusat kemudian menyatakan Thomas Lembong dam Charles Sitorus tetap ditahan selama 20 hari.
“Oleh penuntut umum dilakukan penahanan untuk 20 hari ke depan, mulai tanggal 14 Februari sampai dengan 5 Maret 2025. Masing-masing untuk 20 hari ke depan sambil menunggu Jaksa Penuntut Umum menyelesaikan dan menyempurnakan surat dakwaan,” kata Kajari Jakarta Pusat, Safrianto Zuriat Putra, di kantor Kejari Jakarta Pusat, Jumat (14/2/2025).
Dia menjelaskan Tom Lembong ditahan di rutan yang berbeda dengan Charles Sitorus. Tom ditahan di Rutan Salemba cabang Kejari Jakarta Selatan, sementara Charles Sitorus ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung.
“Untuk TTL ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Kemudian untuk Charles Sitorus atau CS ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung,” kata Safrianto.
Dalam kasus ini, Tom Lembong dan Charles Sitorus telah ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian Kejagung kembali menetapkan sembilan tersangka lainnya, sehingga total tersangka kasus impor gula menjadi 11 orang.
Tom sempat mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan. Namun, gugatan praperadilan Tom ditolak. Artinya, status tersangka Tom Lembong sudah sah dan sesuai aturan hukum.
Perbuatan Tom Lembong dkk diduga telah merugikan keuangan negara hingga Rp 578 miliar. Atas perbuatannya, Tom Lembong dkk dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Tiga Klaster Melawan Hukum
Berdasarkan penelisikan keadilan.id, ada tiga klaster Persetujuan Impor secara melawan hukum yang dilakukan oleh Thomas Trikasih Lembong saat menjadi Menteri Perdagangan. Pertama, adanya pemberian impor kepada swasta karena permintaan Inkopol dan Inkopad. Kedua, adanya pemberian Impor kepada swasta melalui penugasan BUMN PPI. Dan ketiga, adanya pemberian Impor kepada swasta secara melawan hukum.
Dari tiga klaster tersebut, menurut informasi yang dihimpun keadilan.id, terdapat sedikitnya empat keadaan yang bisa dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum. Salah satunya, cukup fatal karena hal itu bisa membuktikan adanya ‘mens rea’ atau niat jahat.
Pertama, tujuan penugasan impor gula tidak tercapai karena harga tinggi. Hal ini disebabkan GKP hasil Impor yang seharusnya dilakukan operasi pasar oleh PPI tidak jadi dilakukan. Namun diberikan kepada distributor yang terafiliasi dengan produsen impor. Akibatnya, pemerintah tak bisa mengontrol harga gula dan menyebabkan harga penjualan mencapai Rp16.000/kg, melebihi harga eceran tertinggi pasar sebesar Rp12.500/kg.
Kegagalan ini tentu membuat konsumen dirugikan karena tetap mengeluarkan dana lebih besar untuk mendapatan gula pasir. Padahal kondisi ekonomi masyarakat sedang terhimpit. Belum lagi efek domino kenaikkan harga gula yang pasti memicu naiknya harga komoditi lain yang faktor produksinya terkait langsung atau tidak langsung dengan komoditi gula.
Tindakan ini sama saja dengan menyabotase program pemerintah untuk menstabilkan harga gula sekaligus menyabotase pemerintah menghentikan gejolak sosial yang terjadi karena kenaikkan harga gula. Sementara importir enak saja menikmati keuntungan berlipat dari kegagalan operasi pasar dan kepanikan masyarakat atas naiknya harga kebutuhan pokok.
Kedua, pemberian kuota impor dalam negeri melebihi kebutuhan dalam negeri dan tanpa Rakortas serta rekomendasi Menteri Perindustrian. Dampak keputusan serampangan Tom Lembong membuat petani tertekan dengan harga beli tebu yang murah, padahal di pasar harga GKP tetap tinggi.
Situasi ini membuat petani tebu seperti pepatah, ayam mati kelaparan di lumbung padi. Bayangkan, harga eceran gula sangat tinggi, namun petani tebu justru dimiskinkan. Sementara pengusaha yang melakukan impor dan oknum pejabat menikmati keuntungan dengan tingginya harga gula di pasar.
“Bayangkan, pengusaha-pengusaha impor sambil makan mewah di luar negeri, angkat telepon untuk dapat kuota impor, kemudian kekayaannya yang sudah berlimpah, makin bertambah berlimpah ruah. Sementara, petani tebu dimiskinkan, anak-anak mereka terpaksa putus sekolah bahkan bayi yang baru lahir terkena stunting. Dimana rasa keadilan?” cerita sumber keadilan.id
Ketiga, impor Gula Kristal Putih merupakan barang larangan terbatas yang hanya diperbolehkan dilakukan oleh BUMN. Namun Tom Lembong diduga memberikan kepada swasta secara melawan hukum. Ada dugaan, nama koperasi-koperasi personel Polri dan TNI hanya dipakai. Padahal penikmat terbesar adalah pengusaha yang melakukan impor, penikmat terkecil adalah oknum-oknum. Sementara personil Polri dan TNI tetap saja masih ada yang susah, terutama di level bawah.
Keempat, Tom Lembong terbukti secara sadar membuat keputusan. Walau sudah diingatkan oleh Kasubdit, Direktur dan Dirjen Kementerian Perdagangan bahwa pemberian Impor GKP tidak bisa diberikan kepada Produsen Swasta. Namun Tom Lembong bersikeras dan tetap memberikan persetujuan impor kepada delapan perusahaan swasta tersebut. Bahkan ia menandatanganinya langsung. Peristiwa ini sebenarnya di luar kebiasaan dan sangat spesial. Selama ini persetujuan impor diteken dirjen, tapi untuk delapan perusahaan swasta ini, Menteri Perdagangan langsung yang meneken.
Perlakuan khusus atau niat kuat Tom Lembong untuk mengizinkan delapan perusahaan swasta melakukan impor tentu menimbulkan pertanyaan. Keuntungan apa yang diperoleh Tom Lembong untuk nekad membuat keputusan melanggar hukum yang merugikan negara dan merusak perekonomian jutaan petani tebu tapi menguntungkan delapan importir?
Kebetulan, Tom Lembong yang dalam LHKPN mengakui memiliki kekayaan sekitar Rp95 miliar, dalam negeri tercatat tak punya aset. Bahkan tanah, bangunan dan mobilpun, Tom Lembong yang sejak sekolah sampai bekerja berada di luar negeri ini juga tak memilikinya di dalam negeri. Apakah Tom Lembong menyimpan kekayaan di luar negeri dan di luar yuridiksi hukum Indonesia, mungkin hanya Tom Lembong dan Tuhannya yang tahu.
BACA JUGA: Penggeledahan Ditjen Migas Terkait Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang Pertamina