KEADILAN – Gagasan Keadilan Restoratif Jaksa Agung ST Burhanuddin mulai mendapat apresiasi. Setidaknya apresiasi itu disampaikan mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dalam akun twitternya, @Fahrihamzah.
Fahri berharap Presiden Joko Widodo dan anggota DPR RI merespons gagasan keadilan restoratif Burhanuddin tersebut. “Pikiran tersebut mesti diarusutamakan agar menjadi mazhab politik hukum baru dalam sistem peradilan Indonesia,” tulisnya.
Menurut Fahri, gagasan Jaksa Agung memiliki arti sangat penting yang akan mengubah wajah sistem peradilan pidana di Indonesia. Pasalnya, sudah terlalu lama Indonesia mengadopsi dan menjalankan sistem hukum kolonial yang retributif, yakni berorientasi penghukuman atau pemidanaan.
“Kita sudah merdeka bahkan beralih menjadi negara demokrasi modern tapi hukum masih otoriter,” ujar Fahri.
Selaku mantan pimpinan Komisi Hukum DPR RI 2009-2014, ia cukup memahami persoalan sistem hukum yang mesti dibenahi. Bahkan di penghujung masa jabatannya sebagai wakil ketua DPR RI tahun 2019, Fahir bersama anggota DPR lain hampir saja mengesahkan revisi UU KUHP dan UU Lembaga Pemasyarakatan.
Namun, dua proses revisi yang telah mengadopsi paradigma hukum modern itu ternyata harus gagal dan tertunda karena satu dan lain alasan. “Saya menyambut tinggi, ketika ide-ide besar itu ternyata landasan dalam pikiran Jaksa Agung,” kata Fahri.
Apa itu Keadilan Restoratif
Terobosoan Keadilan Restoratif yang digagas Burhanuddin tertuang dalam Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020. Melalui peraturan tersebut, jaksa sampai 21 Agustus 2021 telah menghentikan sebanyak 304 perkara.
Perkara jenis apa saja yang dihentikan melalui Keadilan Restoratif ini. Seperti disampaikan Jaksa Agung Burhanuddin 10 September 2021 lalu, rata-rata perkara yang dihentikan adalah perkara tindak pidana umum seperti pelanggaran UU Lalu Lintas, penganiayaan dan pencurian.
Menurut Burhanuddin, Perja Nomor 15 Tahun 2020 telah diundang-undangkan pada 22 Juli 2020. Pengundang-undangan ini bertepatan dengan Hari Bhakti Adyaksa ke-60 sekaligus sebagai kado bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Peraturan Kejaksaan ini akan menjadi momentum yang mengubah wajah penegakan hukum di Indonesia. Tidak akan ada lagi kasus nenek Minah, kasus kakek Samirin, yang sampai di meja pengadilan. Tidak akan ada lagi penegak hukum yang hanya melihat kepastian hukumnya saja, dan tidak akan lagi penegakan hukum hanya tajam ke bawah,” tutur Burhanuddin.
Secara lebih detail beberapa waktu lalu, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana menyebutkan syarat perkara yang dihentikan melalui Keadilan Restoratif. Diantaranya kasus pencurian yang ancaman hukumannya kurang 5 tahun dan kerugian materi tak lebih dari Rp2,5 juta serta itu merupakan perbuatam pertama.
Pada titik ini, mungkin apa yang disampaikan Fahri Hamzah soal Keadilan Restoratif mengubah wajah sistem peradilan pidana di Indonesia ada benarnya. Perja Nomor 15 Tahun 2020 sangat layak dijadikan pedoman untuk merevisi KUHP dan KUHAP yang sudah usang karena peninggalan Penjajah Belanda.
Syamsul Mahmuddin