KEADILAN – Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menunda sidang permohonan praperadilan Pemimpin Pondok Pesantren Al-Zaytun, Panji Gumilang. Panji Gumilang mempraperadilankan Subdit I Dittipidum Bareskrim Polri dan Kasubdit Prapenuntutan cq Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung Republik Indonesia (RI) terkait penetapan dirinya sebagai tersangka dugaan penggelapan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Pondok Pesantren Al-ZaytunAl-Zaytun.
Hakim Tunggal, Hendra Yuristiawan Menunda persidangan hingga empat Desember karena pihak Panji Gumilang selaku pemohon tidak hadir. Begitu juga pihak termohon dari Subdir I Dittipidum Bareskrim Polri tidak menghadiri persidangan. Sidang hanya dihadiri turut termohon Kasubdit Prapenuntutan cq Jaksa Penuntut Umum Kejagung Republik Indonesia (RI).
“Turut termohon hadir ya. Untuk pemohon dan termohon akan kita panggil kembali selama kurun waktu dua minggu berarti hari Senin tanggal 4 Desember” ujar Hakim Hendra dalam persidangan di ruangan sidang tiga Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (20/11/2023)
Seusai persidangan, Akhirudin mewakili Pihak Kasubdit PraPenuntutan cq JPU Kejagung RI menyampaikan pihaknya akan meminta pendapat hakim jika pihak pemohon dan termohon tidak hadir kembali dalam persidangan berikutnya sehingga mendapatkan kepastian hukum terhadap perkara yang sedang dijalani.
“Sepenuhnya kewenangan Hakim. Kita cuma bisa mengajukan nanti dipersidangan yang akan datang jika tidak hadir juga kata akan menyampaikan pendapat dan permintaan kepada Hakim sehingga mendapat kepastian hukum terhadap perkara yang sedang berjalan,” katanya
Sebelumnya, Panji Gumilang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri dalam kasus TPPU, dengan unsur pidana terkait dugaan penggelapan dan korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Panji diduga melanggar Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2020 tentang TPPU, Pasal 70 jo Pasal 5 UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, serta Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Reporter : Wilibaldus Aldino
Redaktur : Syamsul Mahmuddin