Perkuat Bukti 3 Klaster Melawan Hukum, Jaksa Cecar 4 Saksi Korupsi Impor Gula

KEADILAN – Jaksa penyidik terus menggali keterangan saksi untuk memperkuat bukti korupsi impor gula. Senin (02/12/224), penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) memeriksa 4 saksi.

Keempatnya diperiksa untuk memperkuat bukti perkara kegiatan importasi gula Kementerian Perdagangan (Kemendag) 2015-2023. Dimana sampai saat ini penyidik baru menetapkan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dan Charles Sitorus sebagai tersangka untuk kegiatan impor 2015-2016.

Keempat saksi tersebut adalah BAM selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) Persero tahun 2016 – 2019. Lalu FKZ selaku Kepala Divisi Pengadaan Pangan Pokok Direktorat Pengadaan Bulog tahun 2016- 2018.

Selai keduanya, jaksa juga memeriksa YHF selaku Karyawan BUMN/Bulog. Dan, RJT selaku Kepala Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai I.

3 Klaster Perbuatan Melawan Hukum

Sebagaimana diberitakan keadilan.id, kasus korupsi Tom Lembong sempat bikin polemik. Sebagian netizen menganggap keputusan Tom Lembong mengizinkan 8 perusahaan swasta melakukan impor gula bukan korupsi. Padahal Tom Lembong setidaknya telah melakukan tiga klaster pelanggaran hukum fatal dalam keputusannya yang membuat importir berpesta dan petani dimiskinkan.

Dalih pihak yang berpendapat Lembong tidak melakukan dugaan pidana korupsi adalah latar belakang impor Gula Kristal Mentah (GKM) untuk pengganti Operasi Pasar yang dilakukan Inkopol dan Inkopad. Tujuannya, agar keputusan Tom Lembong tersebut bisa disimpulkan hanya bersifat administratif dan tak ada kerugian negara.

Namun berdasarkan penelisikan keadilan.id, ternyata ada tiga klaster Persetujuan Impor secara melawan hukum Tom Lembong saat menjadi Menteri Perdagangan. Pertama, adanya pemberian impor kepada swasta karena permintaan Inkopol dan Inkopad. Kedua, pemberian Impor kepada swasta melalui penugasan BUMN PPI. Dan ketiga, adanya pemberian Impor kepada swasta secara melawan hukum.

Dari tiga klaster tersebut, menurut informasi yang dihimpun keadilan.id, terdapat sedikitnya empat keadaan yang bisa dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum. Salah satunya, cukup fatal karena hal itu bisa membuktikan adanya ‘mens rea’ atau niat jahat.

Pertama, tujuan penugasan impor gula tak tercapai karena harga tinggi. Hal ini disebabkan Gula Kristal Putih atau GKP hasil olahan impor GKM yang seharusnya dilakukan operasi pasar oleh PPI tidak jadi dilakukan. Namun diberikan kepada distributor yang terafiliasi dengan produsen impor. Akibatnya, pemerintah tak bisa mengontrol harga gula dan menyebabkan harga penjualan mencapai Rp18.000/kg sampai Rp20.000/kg, melebihi harga eceran tertinggi pasar sebesar Rp12.500/kg.

Kegagalan ini tentu membuat konsumen dirugikan karena tetap mengeluarkan dana lebih besar untuk mendapatan gula pasir. Padahal kondisi ekonomi masyarakat sedang terhimpit. Belum lagi efek domino kenaikkan harga gula yang pasti memicu naiknya harga komoditi lain yang faktor produksinya terkait langsung atau tidak langsung dengan komoditi gula.

Tindakan ini sama saja dengan menyabotase program pemerintah untuk menstabilkan harga gula sekaligus menyabotase pemerintah menghentikan gejolak sosial yang terjadi karena kenaikkan harga gula. Sementara importir enak saja menikmati keuntungan berlipat dari kegagalan operasi pasar dan kepanikan masyarakat atas naiknya harga kebutuhan pokok.

Kedua, pemberian kuota impor dalam negeri melebihi kebutuhan dalam negeri dan tanpa Rakortas serta rekomendasi Menteri Perindustrian. Dampak keputusan serampangan Tom Lembong membuat petani tertekan dengan harga beli tebu yang murah, padahal di pasar harga GKP tetap tinggi.

Situasi ini membuat petani tebu seperti pepatah, ayam mati kelaparan di lumbung padi. Bayangkan, harga eceran gula sangat tinggi, namun petani tebu justru dimiskinkan. Sementara pengusaha yang melakukan impor dan oknum pejabat menikmati keuntungan dengan tingginya harga gula di pasar.

“Bayangkan, pengusaha-pengusaha impor sambil makan mewah di luar negeri, angkat telepon untuk dapat kuota impor, kemudian kekayaannya yang sudah berlimpah, makin bertambah berlimpah ruah. Sementara, petani tebu dimiskinkan, anak-anak mereka terpaksa putus sekolah bahkan bayi yang baru lahir terkena stunting. Dimana rasa keadilan?” cerita sumber keadilan.id.

Ketiga, impor Gula Kristal Putih merupakan barang larangan terbatas yang hanya diperbolehkan dilakukan oleh BUMN. Namun Tom Lembong diduga memberikan kepada swasta secara melawan hukum. Ada dugaan, nama koperasi-koperasi personel Polri dan TNI hanya dipakai. Padahal penikmat terbesar adalah pengusaha yang melakukan impor, penikmat terkecil adalah oknum-oknum. Sementara personil Polri dan TNI tetap saja masih ada yang susah, terutama di level bawah.

Keempat, Tom Lembong terbukti secara sadar membuat keputusan. Walau sudah diingatkan oleh Kasubdit, Direktur dan Dirjen Kementerian Perdagangan bahwa pemberian Impor GKP tidak bisa diberikan kepada Produsen Swasta. Namun Tom Lembong bersikeras dan tetap memberikan persetujuan impor kepada delapan perusahaan swasta tersebut. Bahkan ia menandatanganinya langsung. Peristiwa ini sebenarnya di luar kebiasaan dan sangat spesial. Selama ini persetujuan impor diteken dirjen, tapi untuk delapan perusahaan swasta ini, Menteri Perdagangan langsung yang meneken.

Perlakuan khusus atau niat kuat Tom Lembong untuk mengizinkan delapan perusahaan swasta melakukan impor tentu menimbulkan pertanyaan. Keuntungan apa yang diperoleh Tom Lembong untuk nekad membuat keputusan melanggar hukum yang merugikan negara dan merusak perekonomian jutaan petani tebu tapi menguntungkan delapan importir?

Kebetulan, Tom Lembong yang dalam LHKPN mengakui memiliki kekayaan sekitar Rp95 miliar, dalam negeri tercatat tak punya aset. Bahkan tanah, bangunan dan mobilpun, Tom Lembong yang sejak sekolah sampai bekerja berada di luar negeri ini juga tak memilikinya di dalam negeri. Apakah Tom Lembong menyimpan kekayaan di luar negeri dan di luar yuridiksi hukum Indonesia, mungkin hanya Tom Lembong dan Tuhannya yang tahu.

Sekedar diketahui juga, sebagian dari 8 perusahaan swasta yang diberi kuota impor oleh Tom Lembong adalah perusahaan berstatus Penanaman Modal Asing atau PMA. Karena ini pula muncul dugaan bahwa kalaupun ada keuntungan pribadi dinikmati pejabat negara, transaksinya mungkin di luar negeri sehingga tak terjangkau tangan penegak hukum Indonesia.

Jaksa Kena Apesnya

Titik ini pula membuat Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengusut Tom Lembong seperti terkena sial. Meskipun Tom Lembong sudah terang benderang melanggar hukum, merugikan negara dan merusak perekonomian petani tebu, namun penyidik kesulitan mendapatkan bukti keuntungan pribadi yang didapatkan Tom Lembong di wilayah yuridiksi Hukum Indonesia.

Mungkin atas dasar ini pula, Kejaksaan Agung mentersangkakan Tom Lembong dengan pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Tidak seperti pejabat negara lain yang dikenakan sangkaan melanggar pasal 2 atau pasal 3 UU Tipikor kemudian dijuntokan dengan pelanggaran pasal 18 UU Tipikor.

Sebagaimana diketahui, pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor memudahkan penyidik dalam membuktikan unsur menguntungkan diri sendiri seorang penyelenggara negara yang menjadi tersangka. Sebab, unsur menguntungkan diri sendiri dalam pasal 2 dan 3 UU Tipikor, diberi alternatif dengan unsur menguntungkan orang lain atau korporasi.

Berikut petikan pasal 2 UU Tipikor. “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit…”

Secara terang pasal 2 ayat 1 UU Tipikor hanya mengandung tiga unsur pokok. Pertama, secara melawan hukum. Kedua, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Dan ketiga, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Begitu juga dengan pasal 3 UU Tipikor. Bunyi pokoknya adalah setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.

Unsur pasal tiga selain tambahan ‘menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan’, unsur-unsur lain sama dengan pasal 2. Secara melawan hukum. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Dan, dapat merugikan negara atau perekonomian negara.

Dua pakar hukum pidana yang ditanya keadilan.id, terkait unsur ‘memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi’, membenarkan frasa ‘atau’ bermakna alternatif. Keduanya adalah Dr Abdul Fickar Hadjar SH MH dari Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia dan Prof Dr Agus Surono dari Fakultas Hukum Universitas Pancasila.

“Unsur memperkaya diri sendiri, orang lsin atau korporasi bersifat alternatif. Jadi siapapun yang diuntungkan, pejabatnya kena,” ujar Abdul Fickar kepada keadilan.id, di Jakarta, Minggu (03/11/2024).

Sementara Agus Surono menjelaskan bahwa adanya kickback kepada pejabat negara merupakan bentuk pidana suap dan ada pasal tersendiri. Sehingga bila tak bisa dibuktikan adanya suap, maka tak bisa dikenakan pasal suap. Sementara itu pasal 2 dan 3 UU Tipikor berbeda.

Makna atau pengertian Pasal 2 yaitu setiap orang dilarang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara mekawan hukum yang merugikan negara, baik kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Perbuatan yang dilarang dalam pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, yaitu memperkaya secara melawan hukum, baik diri sendiri, orang lain atau korporasi yang merugikan negara. Sedangkan Pasal 3, intinya yaitu setiap orang dilarang menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan cara menyalahgunakan kewenangan, kedudukan atau kesempatan, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

“Untuk pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang harus dibuktikan adanya unsur mens rea dan actus reus yang bersifat strafbaar yang menyimpang dari asas doelmatigheid,” ujarnya.

Mens rea secara harpiah adalah pikiran bersalah. Atau bermakna keinginan untuk melakukan perbuatan jahat. Sedangkan actus reus adalah perbuatan salah atau sederhananya, niat jahat yang diwujudkan dalam perbuatan seperti membuat keputusan memberi izin sesuatu untuk pihak lain.

Sekedar mengingatkan, masalah pilihan alternatif membuktikan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi pernah dijelaskan Ketua Tim Penyusun UU Nomor 31/1999, Prof Romli Atmasasmita dalam sebuah diskusi beberapa tahun lalu. Romli saat itu mengatakan bahwa seorang pejabat negara melakukan perbuatan melawan hukum dan menguntungkan orang lain, pasti mendapatkan keuntungan pribadi juga. Namun masalahnya mendapatkan bukti keuntungan pribadi seorang pejabat negara tak semudah membuktikan keuntungan yang didapatkan orang lain atau korporasi akibat keputusan pejabat negara tersebut.

Apa yang disampaikan Romli sebenarnya sebuah ‘common sense’. Atau sebuah nalar umum yang diterima sebagai realita yang tak perlu lagi dibuktikan. Logikanya, tidak mungkin seseorang bersedia menanggung resiko masuk penjara jika tak mendapatkan keuntungan.

Pada titik ini, keberanian jaksa mengangkat kasus Lembong sebenarnya patut diapresiasi. Apalagi mengingat nama-nama pengusaha besar yang selama ini dipahami publik menguasai impor. Hanya seorang Jaksa Agung yang tanpa beban budi dari importir besar saja yang mampu melawan mafia impor. Untuk itu kita salut kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Nah.

BACA JUGA: Guru Besar Keuangan Berpendapat Kerugian Negara dalam Korupsi Impor Gula Lembong Sangat Nyata