PBHI Sebut Ada Dugaan Intimidasi Terhadap Band Sukatani

KEADILAN– Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menduga adanya intimidasi terhadap Band Sukatani oleh polisi karena video dan lagu ‘Bayar Bayar Bayar’.

PBHI menyatakan intimidasi terhadap karya seni Band Sukatani tersebut adalah pelanggaran HAM yang sistematis dan terstruktur dengan unsur negara sebagai pelaku, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Media massa dan sosial ramai merespons video permintaan maaf Band Sukatani kepada Kapolri dan institusi Polri. Personel Band Sukatani terpaksa membuka identitas anonimitas yang selama ini menjadi ciri khas demi keamanan atas karyanya yang kritis dan meminta pengguana media sosial untuk menghapus video dan lagu yang viral tersebut. Lagu itu memuat lirik yang menggambarkan fakta banyaknya tindakan koruptif Polri yang menjadikan masyarakat sebagai korban.

PBHI mendapatkan informasi bahwa Sukatani menghilang dan tidak dapat dihubungi manajemen dalam perjalanannya dari Bali menuju Banyuwangi setelah tampil. Diduga kuat, ada anggota Polri yang mengintimidasi dan memaksa untuk meminta maaf atas lagu tersebut.

PBHI menilai intimidasi terhadap karya seni Band Sukatani tersebut adalah pelanggaran HAM yang sistematis dan terstruktur.

“Ada unsur negara sebagai pelaku, yakni Polri, di mana Polri merupakan bagian dari fungsi pertahanan dan keamanan negara serta di bawah struktur dan instruksi Presiden dalam konteks ketatanegaraan Indonesia,” kata Ketua Badan Pengurus PBHI Julius Ibrani dalam keterangan tertulis yang diterima pada Jumat (21/02/ 2025).

Hak kebebasan berekspresi, utamanya seni, merupakan bagian dari kebudayaan yang menjadi tonggak kemajuan peradaban bangsa. Oleh karenanya, intimidasi dan tindakan represif yang dilakukan Anggota Polri terhadap Sukatani, menurut PBHI, jelas melanggar jaminan hak kebebasan ekspresi seni sebagaimana Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang HAM hingga DUHAM dan Pasal 19 International Civil and Political Rights. Ciri khas rezim otoriter orde baru Band Sukatani.

PBHI mengingatkan, pembatasan dan pembredelan terhadap kebebasan berekspresi dalam bentuk karya seni adalah ciri khas dari rezim otoriter Orde Baru.

Untuk itu, seniman dan karya seni yang mengkritik pemerintah pasti dibredel dan dikriminalisasi, penerbitan dan publikasinya dilarang hingga dimusnahkan. “Sebut saja nama Iwan Fals. Represi terhadap Band Sukatani adalah repetisi rezim otoriter Orde Baru, pendekatan berbasis intelijen yang senyap tersembunyi adalah kekhasan Pangkopkamtib Orde Baru,” katanya.

Pelanggaran HAM berkaitan hak berekspresi bukan kali ini saja terjadi. Pada penghujung Desember 2024, Galeri Nasional Indonesia membredel lukisan Yos Suprapto yang bertajuk

“Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” yang telah diriset belasan tahun. Pembredelan itu dilakulan dengan dalih tidak relevan.
PBHI menambahkan, Sukatani tidak hanya diintimidasi. Satu personelnya juga kehilangan pekerjaan setelah tempatnya bekerja, yakni sekolah juga diduga diintimidasi dan diancam anggota Polri.

“Artinya, dimensi represi Anggota Polri terhadap Band Sukatani tidak berdiri di satu titik saja,” ucap Julius.

Tindakan represi anggota Polri yang multidimensional adalah pelanggaran terhadap etik dan profesionalitas Polri. Lebih lanjut, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila terjadi “penculikan” dalam bentuk pengekangan selama perjalanan dari Bali ke Banyuwangi.

Padahal, menurut PBHI, sempat viral bahwa Kapolri Jendral Listyo Sigit menyatakan Polri tidak antikritik. Bahkan Kapolri menyampaikan pihak yang paling berani mengkritik Polri paling keras adalah sahabat Polri.

Tindakan anggota Polri yang merepresi Band Sukatani adalah pembangkangan terhadap perintah atau komando dari Kapolri.

PBHI juga mendesak kepada lembaga-lembaga negara, khususnya Kementerian Kebudayaan bersikap dan bertindak tegas menjamin hak kebebasan berekspresi serta karya seni dari Sukatani.

PBHI meminta pula kepada Komisi Nasional HAM bersikap aktif baik memantau dan menyelidiki terhadap adanya dugaan pelanggaran HAM yang sistemik dan terstruktur. Komnas HAM juga diminta bekerja sama dengan Kompolnas atas pelanggaran etik dan profesionalitas hingga adanya tindak pidana dalam pengekakangan kemerdekaan Band Sukatani di perjalanan pulang.

“PBHI juga mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menindak tegas Kapolri atas tindakan represi anggotanya, karena tentu Presiden selaku atasan langsung dari Kapolri akan terkena imbas jika terus terjadi pelanggaran seperti ini. Belum lagi terus dikaitkan dengan identitas Orde Baru yang melekat pada Prabowo Subianto,” pungkas Julius.

Menanggapi lagu yang viral itu, Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan Polri tidak antikritik.

“Komitmen dan konsistensi, Polri terus berupaya menjadi organisasi yang modern yaitu Polri Tidak Anti Kritik,” ujar Trunoyudo di Mabes Polri, Jumat (21/02/2025).
Trunoyudo mengatakan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo selalu menekankan agar tidak antikritik.

Arahan itu, lanjut Trunoyudo, disampaikan Kapolri ke seluruh jajaran.”Bapak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kerap menegaskan hal tersebut kepada seluruh jajaran,” ujarnya.