KEADILAN – Korupsi pertamina sangat menyesakkan dada masyarakat. Kejaksaan pun didesak menerapkan tuntutan pidana mati terhadap para pelaku. Merespon itu, penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) sedang mendalami penerapan tuntutan hukuman mati dalam.kasus korupsi Rp1000 triliun Pertamina. Hal itu diungkapkan Jaksa Agung ST Burhanuddin, kepada wartawan di Kejagung, Kamis (06/03/2025).
Desakan publik kepada kejaksaan agar menerapkan tuntutan hukuman mati bagi pelaku korupsi belakamgan makin menguat. Pasalnya dugaan korupsi Pertamina yang sedang diusut kejaksaan sangat besar. Bayangkan dalam satu tahun saja kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun. Sementara tempus (waktu) penyidikan lima tahun yaitu sejak 2018 sampai 2023.
“Kita akan melihat hasil, nanti selesai penyidikan ini,” kata Burhanuddin.
Lebih lanjut Burhanuddin menyampaikan, penyidik akan mendalami korupsi ini pada masa pandemi Covid-19 sebagai faktor pemberat bagi para tersangka untuk dituntut dengan hukuman yang lebih berat.
“Kita akan melihat dulu, apakah ada hal yang memberatkan dalam situasi Covid dia melakukan perbuatan itu,” ujarnya.
Ancaman pidana korupsi dalam keadaan tertentu, termasuk masa pandemi Covid-19, tentunya lebih berat dibanding masa normal sebagaimana diatur Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.
“Tentunya ancaman hukumannya akan lebih berat, bahkan dalam kondisi yang demikian bisa-bisa hukuman mati, tapi kita akan lihat dulu bagaimana hasil penyidikan ini,” katanya.
Sebagaimana diketahui, penyidik Jampidsus sudah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus korupsi Rp1000 triliun Pertamina. Dua tersangka terakhir adalah MK dan EC yang ditetapkan sebagai tersangka pada 26 Februari 2025 lalu. Sedangkan Tujuh tersangka sebelumnya, YF dkk ditetapkan sebagai tersangka pada 24 Februari 2025.
Kasus Posisi MK dan EC
Tersangka MK dan Tersangka EC atas persetujuan Tersangka RS selaku Dirut PT Pertamina Patra Niaga melakukan pembelian RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92. Praktek lancung tersebut menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi tidak sesuai dengan kualitas barang.
Tersangka MK memerintahkan dan/atau memberikan persetujuan kepada Tersangka EC untuk melakukan blending produk kilang jenis RON 88 (premium) dengan RON 92 (pertamax) di terminal (storage) PT Orbit Terminal Merak milik Tersangka MKAR dan Tersangka GRJ atau yang dijual dengan harga RON 92. Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core business PT Pertamina Patra Niaga.
Tersangka MK dan Tersangka EC melakukan pembayaran impor produk kilang yang seharusnya dapat menggunakan metode term/pemilihan langsung (waktu berjangka) sehingga diperoleh harga wajar tetapi dalam pelaksanaannya menggunakan metode spot/penunjukan langsung (harga yang berlaku saat itu) sehingga PT Pertamina Patra Niaga membayar impor produk kilang dengan harga yang tinggi kepada mitra usaha/DMUT.
“Tersangka MK dan Tersangka EC mengetahui dan menyetujui adanya mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh Tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping sehingga PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee sebesar 13% sampai 15% secara melawan hukum dan fee tersebut diberikan kepada Tersangka MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa dan Tersangka DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa,” ujar Abdul Qohar.
Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun pada 2023. Rinciannya, Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun. Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun. Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun. Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun. Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.
Perbuatan Para Tersangka bertentangan dengan ketentuan Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER-15/MBU/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara. Juga bertentangan dengan TKO Nomor: B03-006/PNC400000/2022-S9 tanggal TMT 05 Agustus 2022 perihal Perencanaan Material Balanca dan Penjadwalan Impor Produk BBM.
“Para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” pungkas Abdul Qohar.
Sebelum MK dan EC, Kejagung telah menetapkan tujuh orang tersangka yang terdiri dari empat pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta. Salah satunya adalah MKAR putera M Riza Chalid, jurgan minyak besar sekaligus orang terkaya nomor tiga di Indonesia.
Berikut tujuh tersangka awal yang ditetap penyidik.
1. RS, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
2. SDS, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional.
3. YF, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
4. AP, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
5. MKAR, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
6. DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim.
7. GRJ, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Kerugian Negara Rp1000 Triliun
Kerugian negara perkara korupsi Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang PT Pertamina (Persero) Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018 sampai 2023 berpotensi mencapai Rp1000 triliun. Pasalnya nilai kerugian negara Rp193,7 triliun yang diberitakan sebelumnya baru untuk perhitungan pada 2023. Sementara tempus delicti perkara sejak 2018 sampai 2023.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Abdul Qohar dan Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar saat ditanya keadilan.id, Selasa (25/02/2025), mengakui kerugian negara Rp193,7 triliun tersebut hanya perkiraan kerugian negara periode 2023 semata. Keduanya juga mengakui bahwa peristiwa pidana yang disidik penyidik bukan hanya yang terjadi pada tahun 2023. Tetapi sejak 2018 sampai 2023.
Berdasarkan informasi dua pejabat Kejaksaan Agung tesebut patut diduga kerugian negara perkara korupsi Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang PT Pertamina (Persero) Sub Holding dan KKKS tahun 2018 sampai 2023 tidak sekedar Rp193,7 triliun. Pasalnya, peristiwa pidana pada 2018 sampai 2022 modus korupsinya diduga sebelas dua belas alias sama. Jika tiap tahun kerugian negara Rp193,7 triliun, maka total kerugian negara akan mencapai sekitar Rp970 triliun sampai Rp1000 triliun.
BACA JUGA: Korupsi Rp1000 Triliun Pertamina, Jaksa Agung: Kondisi BBM Saat ini Tak Terkait Penyidikan