Korupsi Rp1000 Triliun Pertamina dan Serangan Balik kepada Jampidsus Febrie Adriansyah

KEADILAN – Keberanian penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) mengusut kasus korupsi Rp1000 triliun pertamina diduga telah memicu serangan balik. Pasalnya, berita negatif kembali menghantam Jampidsus Febrie Adriansyah. Bahkan kini menyentuh anaknya.

Salah satunya, laporan sekelompok masyarakat yang menyebut diri Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 10 Maret 2025 lalu. Terlapornya Jampidsus Febrie Adriansyah. Inti laporannya terkait pelelangan aset sitaan koruptor Jiwasraya Heru Hidayat dibawah harga pasar.

Febrie sendiri saat ditemui keadilan.id cuma santai menanggapi laporan KSST. Menurutnya, setiap kali institusinya membongkar kasus korupsi kakap, maka serangan terhadap dirinya juga akan semakin besar. “Ini resiko dari tugas,” ujarnya ringan.

Febrie mungkin benar. Laporan KSST ditengah gencarnya penyidikan korupsi pertamina yang merugikan negara Rp1000 triliun ini, bukan hal baru. Sebelumnya KSST juga melaporkan Febrie pada 2024 lalu. Momentumnya juga ‘kebetulan’ saat Kejagung mengusut korupsi timah yang merugikan negara Rp300 triliun.

Bedanya, KSST dalam laporan kedua ini menambahkan isu baru. Salah satunya ‘menilai’ hasil penyidikan perkara korupsi makelar kasus satu triliun Zarof Ricar yang dilakukan Kejaksaan Agung. KSST menuding pelimpahan perkara Zarof Ricar ke Pengadilan Tipikor Jakarta menyisakan celah agar Zarof Ricar bebas.

Serangan Abnormal Kepada Febrie

Berdasarkan penelisikan keadilan.id, saat ini ada empat serangan terhadap Febrie. Pertama penjualan saham PT Gunung Bara Utama (GBU) milik Heru Hidayat. Kedua, penyelidikan tata kelola tambang di Kalimantan Timur. Ketiga, dakwaan Zarof Ricar. Dan Keempat, soal anaknya yang bekerja di PT Patra Niaga Pertamina.

Laporan penjualan saham sitaan PT GBU berdasarkan penelisikan keadilan.id, sangat aneh jika dikaitkan dengan Febrie Adriansyah sebagai Jampidsus. Setidaknya ada empat fakta dan satu logika umum (common sense) yang secara tegas membantah keterkaitan pelelangan asset PT GBU dengan Febrie Adriansyah.

Fakta pertama adalah penjualan asset sitaan tersebut dilakukan KPKNL. KPKNL singkatan dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. KPKNL merupakan instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). DJKN berada di lingkup Kementerian Keuangan bukan Kejaksaan Agung tempat lingkup Jampidsus.

Fakta kedua adalah appraisal atau penaksiran nilai asset PT GBU dilakukan Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP). KJPP ini diminta oleh Badan Pemulihan Aset (BPA) Kejaksaan Agung, bukan Jampidsus. Dalam struktur organisasi Kejaksaan Agung, BPA dan Jampidsus sejajar dan langsung tunduk kepada Jaksa Agung.

Fakta ketiga adalah BPA mendapatkan aset sitaan PT GBU setelah perkara inkrah atau sudah berkekuatan hukum tetap. Ini artinya Kantor Jampidsus hanya bertanggung jawab membuktikan aset sitaan terkait dengan pidana korupsi dan kemudian diserahkan kepada BPA agar kerugian negara bisa dipulihkan.

Berdasarkan tiga fakta tersebut, menjadi fakta tersendiri pula bahwa keberadaan aset perkara Jiwasraya yang ditangani BPA tidak lagi berkaitan dengan Jampidsus. Pertanyaannya, mengapa KSST selalu ngotot melaporkan Jampidsus ditengah penyidikan korupsi kakap.

Logika umum publik kian sulit mempercayai laporan KSST adalah apakah Jampidsus ‘sebodoh’ itu ‘bermain’ dengan aset sitaan yang sudah dikendalikan lembaga lain. Padahal kalau mau, ia bisa saja ‘menilep’ sebelum aset itu disita dan belum dikendalikan lembaga lain.

Serangan abnormal kedua adalah terkait perkara tata kelola tambang di Kaltim. Berdasarkan penelisikan keadilan.id, perkara tersebut sudah naik dari penyelidikan ke penyidikan. “Perkara tersebut sedang ditangani penyidik,” ujar Febrie saat itu.

Sedangkan soal perkara Zarof Ricar, tuduhan KSST lebih aneh. Pasalnya pengembangan penyidikan perkara Zarof Ricar masih berjalan. Pelimpahan berkas perkara atas nama terdakwa Zarof Ricar ke Pengadilan Tipikor Jakarta karena batasan waktu penahanan.

Dalam perbincangan dengan keadilan.id, Febrie menyebut bahwa Zarof Ricar bukan seorang hakim yang memutuskan sebuah perkara. Ia hanya berperan sebagai perantara untuk mengurus perkara. “Perannya lebih tepat sebagai makelar kasus (markus),” ujarnya.

Oleh karena itu pengenaan pasal suap kepada Zarof Ricar tidak tepat karena ia tak memiliki kewenangan sebagai objek transaksional. Namun pengenaan pasal gratifikasi akan terbukti karena tak menuntut penerima gratifikasi memiliki kewenangan atau tidak. Selain itu, ancaman hukuman maksimal suap lebih rendah dari gratifikasi.

Atas dasar itu sangat aneh jika ada pihak yang ingin Kejagung menyelesaikan dulu semua dugaan pengurusan perkara sebelum perkara Zarof Ricar dilimpahkan ke pengadilan. Ini logikanya sama saja mendorong status Zarof Ricar lepas demi hukum.

Isu terakhir yang sering dihembuskan adalah kedekatan Febrie Adriansyah yang juga Dewan Pembina Alumni Universitas Jambi dengan sejumlah pengusaha alumni Universitas Jambi. Bahkan anak sulungnya yang bekerja di PT Patra Niaga Pertamina, belakangan mulai disebut-sebut.

Menanggapi soal terakhir, Febrie menyebut ia sedang berpikir meminta anaknya berhenti saja bekerja di PT Patra Niaga Pertamina. Keputusan ini mungkin menyakitkan bagi anaknya. Pasalnya sebagai warga negara ia berhak bekerja dimana saja asal memiliki kemampuan.

BACA JUGA: Korupsi Rp1000 Triliun Pertamina, Dua Dirjen Migas Diperiksa Penyidik Jampidsus