KEADILAN – Jaksa penuntut umum (JPU) menolak mentah-mentah eksepsi (nota keberatan) penasehat hukum Zarof Ricar dan Lisa Rahmat. Pasalnya eksepsi yang diajukan tidak sesuai ketentuan diluar ketentuan KUHAP. Oleh karena itu persidangan harus dilanjutkan untuk pembuktian pokok perkara.
Hal itu disampaikan Tim JPU yang dipimpin M Nurachman dalam persidangan perkara Zarof Ricar dan Lisa Rahmat di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/02/2025).
Persidangan yang berisi agenda tanggapan JPU tersebut berlangsung di Ruang Sidang Prof. Dr. HM. Hatta Ali SH.MH. Berlangsung 1 jam 5 menit. Persidangan yang dipimpin Rosihan Zuhriah Rangkuti dimulai pukul 10.15 WIB dan selesai pukul 11.20 WIB.
Menurut JPU, isi nota banyak terkait dengan pokok perkara. Oleh karena itu penutup umum tidak akan menanggapi lebih lanjut karena berada di luar dari materi keberatan atau eksepsi. Sebab, hal itu akan dibuktikan pada persidangan pokok sebagaimana diatur dalam pasal 156 ayat 1 KUHAP.
Dalam jawabannya JPU mengatakan pihaknya nanto akan menghadirkan barang bukti di dalam persidangan pidana korupsi ini. Membuktikan Lisa Rachmat telah melakukan perbuatan jahat untuk mempengaruhi hakim yang menjatuhkan vonis bebas kepada Ronald Tannur dalam perkara pembunuham berencana.
Atas dasar itu, JPU menyatakan bahwa keberatan terdakwa harus dinyatakan tidak dapat diterima berpedoman pada ketentuan pasal 143 ayat 2 huruf a dan huruf B undang-undang Nomor 8 tahun 1981.
JPU juga secara tegas menyatakan bahwa surat dakwaan sudah cermat jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang dilakukan Zarof Ricar dan Lisa Rahmat. Apalagi saat pembacaan surat dakwaan terdakwa di hadapan majelis sudah mengatakan sudah mengerti surat dakwaan.
JPU juga menyatahan bahwa surat dakwaan telah memenuhi syarat formil material sebagaimana ditentukan dalam kebutuhan pasar 143 ayat 2 huruf a dan huruf b KUHAP. Oleh karena JPU meminta majelis hakim menjatuhkan putusan sela dimaksud JPU memohon kepada majelis hakim yang memeriksa perkara melanjutkan persidangan sampai putusan akhir.
Persidangan akan dilanjutkan pada 24 Februari 2025 mendatang. Agendanya adalah pembacaan putusan sela Majelis Hakim.
Kotak Pandora Zarof Ricar
Penangkapan eks pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar alias ZR oleh Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) diduga sudah membuka Kotak Pandora. Pasalnya banyak sekali perkara yang ‘diurus’ makelar kasus (markus) kelas kakap ini. Bayangkan, penghasilannya sebagai markus mencapai lebih Rp1 triliun.
Kotak Pandora adalah sebuah artefak dalam mitologi Yunani. Artefak ini berhubungan dengan mitos Pandora dalam Works and Days karya Hesiod. Dalam cerita aslinya, Pandora sebetulnya adalah guci penyimpanan besar, namun kata tersebut lalu disalahterjemahkan menjadi “kotak”.
Pada era modern, Kotak Pandora menjadi sebuah idiom realitas yang pahit. Bermakna sumber masalah yang tak diinginkan. Kadang dimaknai sebagai rahasia paling memalukan bila kotak itu dibuka. Atau bisa juga sebuah hal yang tampak berharga namun sebenarnya adalah kutukan.
Mengapa ZR menjadi Kotak Pandora? Sebab ia sekarang ‘catatan hidup’ sebuah skandal besar melibatkan lembaga yudikatif. Ratusan – jika bukan ribuan – perkara diputus karena pertimbangan fulus, atau setidaknya dipengaruhi oleh suap.
Memang tidak semua perkara diputus pengadilan berdasarkan suap. Masih ada hakim yang memiliki hati nurani. Namun skandal ZR suka tidak suka akhirnya akan merusak presepsi publik saat melihat seorang hakim ketika membacakan sebuah putusan. Apalagi saat sang hakim membaca ira-ira, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Saat ini saja, dari warung-warung kopi, lapau-lapau pisang goreng, sampai lapo-lapo tuak, ira-ira yang semula agung itu mulai diplesetkan. “Demi Keadilan Berdasarkan Suap dan Kuasa”. Sebuah sindiran yang sangat sarkatis dari rakyat lapis bawah.
Jika ZR adalah Kotak Pandora, apakah keliru Jampidsus menangkap dan membuka kasusnya secara lugas ke publik? Tentu saja tidak. Seperti disampaikan anggota DPR Mardani Ali Sera kepada keadilan.id, kejaksaan justru harus diberi apresiasi tinggi atas keberanian mereka.
Melalui penangkapan ZR dan penyitaan uang tunai sekitar Rp1 triliun tersebut, negara ini dipaksa maju dan tak bisa berhenti berbenah. Terutama membenahi lembaga yudikatif yang benteng terakhir keadilan. Bagaimana keadilan diharapkanntegak bila bentengnya sendiri sudah hancur dimakan rayap?
Saat ini tidak bisa tidak, menjadi kewajiban kita semua mendorong dan mendukung kejaksaan membuka semua kejahatan ZR. Harus digali sedalam-dalamnya, begitu disampaikan legislator Mardani Ali Sera. Soalnya perbuatan ZR dan kawan-kawannya sudah terang benderang merusak bangsa.
Langkah untuk menggali tersebut sudah di tangan jaksa. Kuncinya tinggal mengurai ulang apa yang dilakukan ZR selama ini. Baik melalui catatan transaksi, maupun keterangan dan bukti lainnya. Sebuah tugas yang mungkin perlu waktu karena peristiwa terjadi sejak 2012 lalu, tapi tidak terlalu berat karena hal itu sudah menjadi hal yang elementer bagi seorang jaksa.
Setelah semua bukti diungkap tentu tugas pembenahan semakin mudah. Tinggal memotong bagian yang busuk, bila kita mengikuti alur pikiran pidato Kepala Negara/Presiden Prabowo Subianto saat memberikan pengarahan awal kepada anggota kabinet pemerintahannya.
BACA JUGA: Jampidsus Tuntaskan Penyidikan Perkara Korupsi Thomas Lembong