KEADILAN – Ribuan rumah penduduk di Kota Batam yang berdiri di kawasan perumahan status hukum kepemilikannya diduga bermasalah. Akibatnya, pihak bank menolak ketika akan dijadikan sebagai agunan pinjaman.
Selain dugaan adanya tumpang tindih dokumen kepemilikan lahan, ribuan perumahan itu juga ditengarai berdiri di atas lahan Hutan Lindung. Padahal, warga sudah melakukan pelunasan pembayaran atas tanah dan rumah mereka. Mereka juga sudah menerima dokumen berupa Sertifikat Hak Gunan Bangunan (HGB) yang dikeluarkan Badan Pertanahan Negara (BPN-ATR) dan diterima melalui Bank Tabungan Negara (BTN).
Namun kenyataannya ketika mereka mengajukan permohonan kredit dengan mengagunkan sertifikat HGB tersebut, semua pihak bank menolak dengan alasan sertifikat HGB rumah mereka berdiri di atas tanah ilegal alias di atas Hutan Lindung.
Penelusuran yang dilakukan keadilan.id, konsumen perumahan ini diduga menjadi korban persekongkolan antara pihak BP Batam, BPN, develover serta BTN selaku pemberi kredit.
Keluhan terkait status hokum kepemilikan lahan perumahan ini seperti dikeluhkan Robbi, Kertua Rukum Warga 08 (RW) di Perumahan Arira Garden, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam. Menurutnya, kalau dari awal mengetahui perumahan itu berdiri di atas Hutan Lindung, tidak aka nada warga yang mau membelinya.
Dijelaskan Robbi, mereka sudah mendiami perumahan tersebut sejak dari pembangunan tahap satu tahun 2016, dan sebagian sertifikat rumah warga baik melalui akad Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) atau pembelian tunai/cash telah diubah atas nama pembeli.
“Semua ijin lengkap, dan proses berjalan lancar. Dari instansi berwenang BP Batam, disaat warga mengikatkan diri dalam pembelian rumah baik melalui akad KPR maupun akad tunai cash, terlampir semua dokumen dari BP Batam, berupa Surat Keputusan – Surat Perjanjian (Skep SPJ), Planologi, Peta Lokasi (PL), Peta Induk Lokasi Perumahan, dan Uang Wajib Tahunan (UWT). Kemudian dokumen Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemerintah Kota Batam, dokumen dari Badan Pertanahan Nasional (BPN ATR) yang mengeluarkan sertifikat HGB rumah, pihak Bank pemberi KPR, serta Notaris yang mengatur proses jual beli, semuanya tidak ada masalah, dalam artian semua sudah clear termasuk status lahan perumahan,” ujar Robbi.
Namun, pertengahan tahun 2020 setelah beberapa warga pemilik properti melakukan pengurusan balik nama sertifikat ke BPN Batam, dan atau ada juga warga yang mengajukan permohonan kredit di perbankan, muncul persoalan. “Disaat itulah warga kami mendapat pemberitahuan secara lisan bahwa dari 10 hektar luas lahan Perumahan Arira Garden, ternyata 4,5 hektar lahannya masih berstatus Hutan Lindung. Akibatnya di posisi bagian rumah warga yang masuk Hutan Lindung tidak dapat dibalik nama, dijual ataupun dijaminkan ke bank. Alhasil semua menyangkut legalitas dokumen kepemilikan perumahan warga perumahann Arira Garden, seperti terblokir,” jelas Robbi.
Menghadapi permasalahan ini atas desakan 371 kepala keluarga yang rumahnya terdampak status Hutan Lindung, Robbi menyampaikan aspirasi keresahan dan desakan warganya kepihak developer perumahan Arira Garden, PT. Bintan Arira Developtama.
Singkat cerita permasalahan dan proses pengurusan pemutihan lahan hutan lindung ini akhirnya cepat bergulir, apalagi didukung pemberitaan bombastis dari media lokal dan nasional yang mengindikasikan pihak BP Batam sebagai objek yang harus bertangungjawab.
Sebagai anggota organisasi profesi Dewan Pimpinan Real Estate Indonesia (REI) Daerah Khusus Kota Batam, pihak developer perumahan bersama beberapa pihak developer lain yang mengalami kasus yang sama, mencari tahu bagaimana cara mengurus, membebaskan atau memutihkan bagian lahan yang terindikasi Hutan Lindung.
Pihak REI Batam mengumpulkan semua pengurus, dan anggota yang bermasalah terkait hutan lindung, bersama para ketua RT, RW perumahan, DPRD, BPN, dan Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) kantornya di Tanjungpinang untuk memproses penyelesaian kasus ini. “Alhamdulillah dapat terselesaikan sekitar bulan September 2023 lalu,” kata Robbi.
Walaupun pada akhirnya dapat diputihkan status hutan lindungnya, Robbi sangat menyesalkan dan merasa aneh dan tidak masuk akal bagaimana mungkin kasus yang dialami Perumahan Arira Garden, dan perumahan-perumahan lain disekitarnya bisa terjadi.
Bagaimana mungkin developer dan pihak bank menjual rumah dokumennya sudah lengkap, tapi sertifikat BPN tersebut legalitasnya tidak diakui pihak perbankan. Padahal sertifikat HGB itu adalah dokumen negara yang paling tinggi dan harus diakui pihak perbankan.
“Saya tahu bukan hanya warga Perumahan Arira Garden saja yang mengalami kasus ini, tapi saya mau bicara sebatas kepentingan warga Perumahan Arira Garden,” paparnya.
“Kalau dari awal masyarakat tahu lahan perumahannya masih hutan lindung saya yakin tidak ada satupun warga mau beli rumah di perumahan tersebut. Apalagi sertifikat HGB itu adalah dokumen negara yang paling tinggi dan diakui,” katanya.
Pernyataan Ketua RW 08 ini didukung dan sejalan dengan yang dialami salah satu warga Perumahan Arira Garden bernama Rahmad. Menurutnya, Dia sudah dua kali mengalami kasus seperti di Perumahan Arira Garden tempat tinggalnya saat ini.
“Semula saya tinggal di Kecamatan Batu Aji, di Perumahan Buana View Asri. Dikarenakan saya pindah kerja ke daerah Kecamatan Kabil, yang jaraknya sangat jauh dari rumah saya. Tahun 2008 saya berniat menjual rumah saya tersebut. Ternyata lahan komplek perumahan saya tersebut masuk kawasan hutan lindung dan sertifikat HGB-nya tidak diakui dan dianggap ilegal,” paparnya.
Kalaupun Rahmad memaksakan menjual rumahnya dengan kondisi tersebut harganya jadi murah. “Terpaksa saya harus sabar menunggu, dan barulah di penghujung tahun 2011, komplek Perumahan Buana View Asri status lahan hutan lindungnya dapat diputihkan,” jelasnya.
Dan pada akhirnya, kata Rahmad, diakhir tahun 2015 karena menyangkut usianya yang makin menua, sehingga makin merasa berat menempuh jarak tempat kerjanya di Batu Besar, makanya di Buana View Asri dijual dan mengajukan KPR di Perumahan Arira Garden.
Ketika hal ini dikonfirmasikan kepada Walikota Batam Ex-officio Kepala Batam, Muhammad Rudi, melalui telepon selularnya, tidak bersedia memberi tanggapan.
Reporter: Agus Fajri
Editor: Penerus Bonar
BACA JUGA: Hakim Konstitusi Dilaporkan ke MKMK